Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga advokasi buruh Migrant Care menilai komitmen negara dalam perlindungan buruh dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) rendah. Hal itu dapat dilihat dari program serta langkah konkret yang dilakukan pemerintah masih jauh dari Nawacita Presiden Joko Widodo.
Analis kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan persoalan utama yang masih belum mendapatkan perhatian pemerintah adalah mengenai kepastian perlindungan buruh dan TKI.
"Saya kira masih jauh dari harapan. Tanggung jawab negara dalam perlindungan masih terbagi dalam dikotomi formal dan non formal, serta dokumen dan non dokumen," kata Wahyu saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (23/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adanya dikotomi tersebut, kata Wahyu, menyebabkan adanya diskriminasi antara pekerja yang berasal dari kedua sektor tersebut. Wahyu mencontohkan jika terdapat kasus hukum yang menimpa TKI dari sektor non formal dan non dokumen, maka pemerintah akan terkesan lepas tangan.
"Mereka akan berkata, 'Ini bukan tanggungjawab kami karena non formal dan non dokumen'. Semestinya tidak diskriminatif seperti itu," ujar dia.
Persoalan minimnya perlindungan atas TKI juga dipertanyakan oleh Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN). Ketua SPILN, Iskandar Zulkarnaen, menyoroti persoalan lemahnya hukum untuk menjamin perlindungan atas Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Hal itu, katanya, disebabkan oleh tumpang tindihnya peraturan pemerintah tentang TKI di laut.
"Masing-masing instansi berebut mengeluarkan perizinan karena merasa berwenang. Namun, saat ada masalah, enggak jelas lembaga mana yang bertanggungjawab urusan perlindungan ABK," kata Iskandar menjelaskan.
Selama ini, ujarnya, lembaga yang memiliki tanggungjawab terkait persoalan ABK adalah Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, BNP2TKI, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Akan tetapi, ketika pelaut mengalami masalah semua instansi lempar tangan," katanya.
Iskandar mencontohkan kasus yang menimpa ABK Trinidad Tobago di mana perusahaan lalai membayar upah hingga 3 tahun. Pihak Iskandar telah melapor ke BNP2TKI untuk meminta bantuan pengacara namun mereka diminta juga mengabari Kementerian Perhubungan. Setelah itu, pihaknya juga mesti menghubungi Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Luar Negeri.
"Namun, ujung-ujungnya tetap bantuan hukum tidak terealisasi terhadap ABK ini," kata dia menegaskan.
Selama ini, dia mengatakan sudah ada peraturan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Namun, UU tersebut, katanya, lebih banyak melindungi TKI yang ada di darat alih-alih di laut.
(utd)