Jakarta, CNN Indonesia --
Nama saya Novi, asli Garut. Usia saya 40 tahun dan sekarang berdomisili di Cimahi, Jawa Barat. Sudah 22 tahun lamanya saya bekerja sebagai buruh pabrik. Sekarang, saya bekerja di pabrik tekstil di kawasan Cimahi.Kisah saya berbeda dengan pengalaman buruh waria lainnya. Bisa dikatakan, saya tidak merasakan diskriminasi di pabrik tempat saya bekerja. Semua orang menerima kehadiran saya. Bahkan, atasan kerap memuji performa saya. (Lihat Juga: VIDEO Diskriminasi Buruh Transgender Priawan karena Penampilan)Yang namanya waria, bisa apa saja, begitu kata mereka. Di pabrik tekstil, saya jadi tukang angkat yang berat-berat. Tangan kanan banyak bawaan, tangan kiri penuh kain, tidak masalah. Saya bisa lakukan itu dengan sempurna. Atasan sering ngomong, “Tuh, liat, cari mah buruh yang kayak gini.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau dikatakan sayanya yang terlalu positive thinking, ya bisa jadi. Namun, selama ini saya memang tidak merasakan adanya diskriminasi di lingkungan pabrik. Gaji kami naik sesuai dengan peraturan pemerintah. Sudah sesuai upah minimum provinsi (UMP) juga. (Lihat Juga: Cerita Buruh Gay yang Cari Selamat)Masyarakat sekitar juga sangat menerima kehadiran saya. Oya, saat ini saya membuka usaha salon di tempat tinggal saya. Salon Novi, namanya. Sebentar lagi jam 5 sore, akan ada banyak tetangga yang berkumpul di sini. Tuh lihat, sudah ramai, bukan?
Di pabrik, saya sekarang bukan hanya punya atasan, tetapi juga bawahan. Maklum, sekarang saya menjabat kepala bagian. Kepada bawahan maupun atasan, saya berusaha menunjukkan kerja yang bagus. (
Simak FOKUS: Catatan Harian Buruh Pelangi)Sebagai waria, harus pintar menempatkan diri. Perilaku harus disesuaikan dengan tempatnya. Beda dengan saat kontes atau nyalon. Kalau di pabrik, saya berusaha dandan sewajar mungkin, sering kali tanpa riasan wajah.Waria harus menyadari bahwa dirinya punya banyak kelebihan. Ya, seperti saya misalnya. Saya buruh pabrik tetapi saya juga bisa merias pengantin serta punya keahlian memotong rambut. Waria bisa diandalkan untuk pekerjaan yang berat, juga yang ringan. (Baca Juga: Cerita Hidup Felicia, Seorang Buruh Pabrik Waria)Waria harus kuat dan selalu berpikir positif. Biarkan saja orang lain mau ngomong apa, yang penting sebagai waria menguntungkan orang lain. Begitu saja prinsipnya.Itulah curahan hati Novi. Ia bercerita dengan riang kepada CNN Indonesia saat ditemui di rumahnya, di kawasan Cimahi, Jawa Barat, pada Ahad pekan lalu. Sembari menunggu pelanggan salon -pekerjaan selain buruh- di rumahnya yang berada di sekitar rel kereta api, Novi mengobrol dengan antusias.
Namun, kemudian, ia mulai terbuka menceritakan kisah kelam yang pernah dihadapinya. Kepada CNN Indonesia, ia mengaku gundah dengan perlakuan negatif beberapa kalangan yang masih begitu membenci kaum waria. Ia pernah punya pengalaman buruk dengan organisasi masyarakat yang mengatasnamakan agama.
“Waktu itu saya sedang ke jalan-jalan untuk melakukan sosialisasi pencegahan HIV/Aids. Mereka malah menanggapi kami dengan sangat negatif. Saya langsung dikejar dan dikeroyok,” kata Novi mengenang.
Pengalaman itu begitu mengerikan sampai membuat Novi meringis ketika menceritakannya. Ia tidak habis pikir, mereka tega mengeroyok seseorang yang tengah melakukan kebaikan. Novi pun masih ingat betul bahwa sempat ada pembiaran dari pihak kepolisian.
“Ngeri, saya sampai loncat ke kali. Udah sampe semua badan babak belur dipukulin. Mungkin waktu itu saya lagi apes aja. Tanggapan mereka kalau lihat waria langsung jelek aja,” tutur Novi bercerita.
Kejadian itu membuat Novi berpikir banyak dan mempertanyakan ketidakadilan yang dialaminya. “Mengapa saya diperlakukan begitu? Padahal semua sama-sama manusia. Mengapa?” kata Novi kemudian menghela napas.
Ia berharap tidak ada lagi perilaku main hakim sendiri di negeri ini. “Jangan main pukul. Lucunya, orang yang memukul saya itu malah dalam keadaan mabuk. Namun dibiarkan begitu saja,” katanya.
Meski begitu, anak kedua dari lima bersaudara ini mengaku tidak kapok menjalankan sosialiasi HIV Aids kepada masyarakat. Ia menganggap itu semua adalah tantangan bagi kaum waria untuk menunjukkan bahwa dirinya berharga dan bisa berkontribusi positif bagi masyarakat. “Ibaratnya seperti makan sambel. Pedes, tapi pingin makan lagi, dan lagi. Ketagihan,” katanya.
Novi menaruh harapan besar kepada pemerintah agar dapat memperlakukan waria secara layak, tanpa diskriminasi. Ia berharap kesempatan kerja bagi waria juga dibuka selebar-lebarnya. “Supaya rekan kita yang masih bekerja sebagai pekerja seks komersial bisa mengurangi kebiasaan itu,” katanya.
Kini, Novi mempekerjakan dua orang di salonnya. Ia pun telah sepenuhnya diterima oleh keluarga dan masyarakat sekitar. “Waria harus menunjukkan ke masyarakat bahwa waria itu mampu,” katanya.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Rumah Novi kian ramai. Beberapa pemuda bermain gitar dan bernyanyi di depan salonnya. Beberapa remaja perempuan tampak menunggu di kursi salon, menunggu pelayanan Novi.
Dengan senyum tersungging, Novi menyapa tetangganya yang bertandang. Novi menjalani hidup selayaknya manusia biasa. Karena waria sama seperti manusia lainnya.
Hari ini adalah hari buruh internasional. Namun hingga saat ini, belum ada hitungan pasti seberapa besar komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Sebab masih banyak yang belum bersedia membuka diri soal ini. Lembaga Buruh Internasional (ILO) bersama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian tentang persepsi anggota serikat buruh tentang pekerja LGBT (lesbian, biseksual, gay, transgender). Judul penelitian ini adalah Gender Identity and Sexual Orientation: Promoting Rights, Diversity and Equality in the World of Work (PRIDE).
Riset ini menunjukkan bahwa pekerja LGBT masih kerap mendapatkan diskriminasi. Ditemukan bahwa mereka sulit mengakses pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi kerja yang homophobic dan karena lingkungan (pada umumnya) tidak ramah terhadap kaum LGBT. Sementara, mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan juga kerap mengalami perlakuan diskriminatif seperti dihina, dijauhi, dirisak, diancam, dan bahkan mengalami kekerasan secara fisik.
Aktivis LGBT Dede Oetomo berpendapat transgender, terutama waria, mengalami diskriminasi paling berat di antara semuanya. Ekspresi gender dan orientasi seksual yang terlihat jelas membuat kehadiran mereka begitu menonjol dan menjadi pusat perhatian. Dalam banyak kasus, waria paling kesulitan mendapatkan pekerjaan dibandingkan lesbian, gay, biseksual, maupun priawan. Maka tak jarang, waria kerap menjadi pekerja seks komersial karena keterbasan pilihan pekerjaan tersebut.
(utd)