Jakarta, CNN Indonesia -- Mei 1998 menjadi salah satu momen bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Saat itu rezim Orde Baru (Orba) yang menguasai Indonesia selama 32 tahun akhirnya takluk oleh tekanan mahasiswa.
Indra J. Piliang adalah salah satu aktivis mahasiswa yang saat itu ikut turun ke jalan ibu kota dan menguasai kompleks DPR/MPR RI. Bersama aktivis lain seperti Fadjroel Rachman dan Enin Supriyanto serta alumni Institut Teknologi Bandung (ITB), Indra mengatur cara menduduki Gedung DPR/MPR.
"Rencana itu sudah disusun jauh sebelum kami menguasai DPR/MPR," kata Indra saat berbincang CNN Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski mengaku sudah merencanakan sejak lama, tapi nyatanya pembicaraan soal pendudukan DPR/MPR baru benar-benar dilakukan pada 17 Mei 1998 atau tiga hari setelah "Tragedi Trisakti" yang menewaskan sejumlah mahasiswa. Sejumlah opsi untuk menduduki Gedung DPR/MPR dibahas mendalam oleh para mahasiswa yang akan dipilih berdasarkan kondisi di lapangan. "Enin dan Fadjroel jagonya," kata Indra.
Indra menceritakan, saat itu mahasiswa bergerak sangat sporadis dan dalam kelompok kecil hingga besar. Saat hendak mendatangi DPR/MPR, massa terbanyak datang dari Keluarga Besar Universitas Indonesia (KBUI).
Saat massa KBUI mendatangi Gedung DPR/MPR pada 18 Mei 1998, sudah ada rombongan mahasiswa UI lainnya yang tiba lebih dulu. Bahkan panggung untuk orasi sudah disiapkan. Tokoh-tokoh Petisi 50, salah satunya Amien Rais, saat itu ikut dalam orasi yang dilakukan organ-organ aksi mahasiswa.
Indra mengatakan, Gedung DPR menjadi pilihan karena mahasiswa merasa tempat tersebut aman. Alasannya, ada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sudah menggelar pasukan di sekitar Istana Negara lengkap dengan kendaraan tempur mereka.
"DPR bukan simbol kekuasaan Pak Harto dan kebetulan DPR memang sedang bersidang," kata Indra. (Baca juga:
Kisah Yusril tentang Kegelisahan Soeharto Jelang Kejatuhannya)
Pada saat itu, selain pengusaan DPR/MPR oleh mahasiswa, ada kejadian penting di jagat perpolitikan Indonesia. Kejadian tersabut adalah saat Ketua dan Wakil Ketua DPR meminta Soeharto untuk mundur. Permintaan mundur juga disampaikan oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Padahal saat itu Wiranto diketahui adalah orang dekat Soeharto.
Meski mahasiswa sudah menduduki DPR/MPR sejak 18 Mei, namun mereka baru benar-benar menginap di DPR pada 19 Mei 1998. Pada tanggal tersebut, Indra mengaku datang bersama sekitar 5.000 mahasiswa UI ke Gedung DPR/MPR. Target mahasiswa saat itu adalah untuk menguasai rumah rakyat tersebut.
Sehari setelahnya pada 20 Mei dini hari, Indra bersama para mahasiswa lainnya sempat ketar-ketir. Pasalnya terdengar isu akan adanya penyerangan yang dilakukan militer ke Gedung DPR/MPR. Sebagian mahasiswa yang takut memilih bersembunyi ke bagian belakang gedung.
(Simak FOKUS: Mengingat Kembali Reformasi)Indra mengaku tak gentar saat itu. Ia memilih bertahan dan menolak rencana evakuasi mahasiswa. Indra menolak evakuasi karena bisa berdampak buruk bagi mahasiswa UI. "Saya sempat bertengkar karena ada yang ingin mengevakuasi mahasiswa UI malam itu juga karena ada isu macam-macam, kata Indra. Bahkan Chandra M. Hamzah menurutnya sudah diminta menyediakan 40 unit bis untuk mengevakuasi mahasiswa.
Selain isu penyerangan oleh aparat, hari itu juga ada kejadian di mana para mahasiswa menggelar sidang terhadap beberapa anggota DPR RI pada masa itu. Salah satu nama yang diingat oleh Indra adalah almarhum Ekky Sharuddin.
Ekky adalah seorang kader Partai Golkar saat itu. Ia dikenal oleh para mahasiswa lantaran sering menjadi pembicara di kampus. Selain itu Ekky juga mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam dan tokoh mahasiswa 1966. Kepada Ekky mahasiswa menanyakan kepastian sikap DPR terhadap tuntutan mahasiswa. Namun tak banyak yang disidang oleh mahasiswa lantaran banyak anggota DPR yang tidak dikenal.
Kawasan DPR/MPR merupakan kawasan paling aman bagi mahasiswa. Indra mengatakan, jika seluruh ibu kota dikuasai ABRI, maka hanya kawasan DPR yang dikuasai mahasiswa. "Hari itu, Jakarta milik tentara kecuali kawasan DPR RI," ujarnya.
Keesokan harinya, 21 Mei 1998 merupakan hari bersejarah bagi pemerintahan Indonesia. Soeharto yang sebelumnya enggan turun dari kursinya, akhirnya tak kuasa menghadapi gelombang tuntutan mahasiwa.
Setelah 32 tahun memimpin Indonesia, akhirnya Soeharto menyatakan berhenti jabatannya dan menyerahkan tonggak kepemimpinan Indonesia ke wakilnya, BJ Habibie.
Pengunduran diri tersebut disambut sorak sorai ribuan mahasiswa yang menyemut di Gedung DPR/MPR. Indra sendiri mengaku terpana setengah tak percaya saat tahu Soeharto mau lengser dari kursi yang telah didudukinya selama 32 tahun. "Mahasiswa bersorak gembira," kata Indra.
(utd/rdk)