Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) yang fokus pada advokasi anak dan perempuan mengkritik lemahnya pengawasan prosedural pengangkatan anak menyusul ditemukannya bocah cilik asal Bali bernama Angeline (8) tewas di halaman rumah orangtua angkatnya. Pemerintah terutama dinas sosial dinilai memiliki andil besar dalam longgarnya prosedur adopsi anak.
"Kalau ada regulasi pengangkatan anak dari pemerintah, pertanyaannya mengapa Angeline bisa lolos untuk diadopsi dan Kementerian Sosial tidak tahu. Padahal, keluarganya hanya memiliki surat notaris saja," kata Uli Artha Pangaribuan, dari bagian legal LBH APIK saat dihubungi CNNIndonesia, Jumat (12/6).
(Baca juga FOKUS Siapa Bunuh Angeline?)Dia mengatakan sebenarnya proses adopsi anak di Indonesia tidak mudah. Aturan tentang proses adopsi anak di Indonesia sudah cukup kuat, ujarnya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 12 dan Pasal 13 PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Berdasarkan UU tersebut, orangtua angkat mesti mendapatkan izin dari Menteri atau Kementerian Sosial serta ditetapkan melalui Pengadilan Negeri mengenai sah atau tidaknya proses adopsi anak bersangkutan.
(Baca juga: Kasus Angeline, DPR Usul Sistem Pengamanan Anak yang Lengkap)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, kata Uli, kedua orangtua selain memiliki ekonomi cukup untuk mengasuh anak angkat bersangkutan juga tidak boleh memiliki anak lebih dari satu sebagaimana tercantum dalam penjelasan, 'tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak saja'. Sementara itu, keluarga angkat Angeline, sebelumnya telah memiliki dua orang anak perempuan bernama Yvon dan Christina.
"Dari peraturan tersebut, jelas keluarga angkat Angeline menyalahi peraturan di sini. Kalau proses adopsinya benar, akan ada kecurigaan dari pihak pengadilan. 'Kenapa sudah punya anak mau angkat anak lagi," kata Uli.
(Lihat juga KPAI: Status Adopsi Angeline Tidak Sah)
Lebih jauh lagi, Uli menilai lemahnya pengawasan proses adopsi anak di Indonesia bisa memunculkan ruang-ruang baru untuk eksploitasi atas anak serta praktik perdagangan anak. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah untuk lebih meningkatkan sosialisasi tentang tata cara pengangkatan anak yang sesuai hukum agar kasus-kasus ini tidak terjadi lagi. "Aturan sudah bagus cuma masih banyak orangtua yang berpikir adopsi dengan akta notaris saja sudah cukup. Ini yang mesti ditingkatkan," kata dia.
Sementara itu, G.AA Yuli Marhaeningsih (Agung) dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan (P2TP2A) Denpasar mengatakan Angeline memang diangkat anak oleh Magriet Megawe tidak melalui pengadilan. Orang tua kandung Angeline, Rosidi dan Hamidah, menyerahkan anak mereka ke Margriet melalui surat yang disebut Surat Pengakuan Pengangkatan Anak.
“Surat Pengakuan Pengangkatan Anak itu sebagai tahap awal di antara kedua pihak orang tua terkait pengangkatan Angeline sebagai anak angkat Margriet,” ujar Agung.
Selanjutnya, kata Agung, mestinya dilakukan pengadopsian Angeline melalui penetapan pengadilan, dan hal itulah yang belum dilakukan kedua pihak orang tua.
(Lihat juga: Angeline Dibunuh, Dugaan Unsur Paedofil Menguat)Surat Pengakuan Pengangkatan Anak atas Angeline, menurut Agung, resmi dibuat melalui kantor notaris. “Ada akta notaris, hitam di atas putih. Isinya pihak pertama menyerahkan ke pihak kedua, dan selanjutnya. Suratnya setebal lima halaman,” kata dia.
Hingga kini, pihak Kepolisian Daerah Bali sudah menetapkan satu tersangka atas pembunuhan Angeline, yakni Agus. Kepada polisi, Agus mengaku telah membunuh Angeline dengan menjedotkannya ke dinding serta menginjak bagian punggung bocah cilik tersebut. Tak hanya itu, Agus juga mengaku memperkosa Angeline setelah bocah itu terkulai akibat benturan di kepalanya.
Selengkapnya di Fokus:
Siapa Bunuh Angeline? (utd)