Jakarta, CNN Indonesia -- Front Pembela Islam meminta kelompok Ahmadiyah tidak memprovokasi dengan melakukan kegiatan ibadah secara terbuka. Surat keputusan bersama tiga menteri soal Ahmadiyah harus ditaati agar gesekan tidak kembali terjadi.
Jumat (12/6) pekan lalu bentrokan nyaris terjadi antara FPI dengan pengikut jaran Mirza Ghulam Ahmad itu di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Belasan pengikut Ahmadiyah Salat Jumat di sebuah rumah dikepung warga.
Wakil Sekretaris Jenderal FPI Awit Maschuri, Selasa (16/6) mengatakan, warga menolak aktivitas ibadah kelompok Ahmadiyah ini. Meski hanya berjumlah 11 orang, mereka memaksa menggelar Salat Jumat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masyarakat setempat menawarkan untuk bergabung di masjid yang ada," kata Awit kepada CNN Indonesia. Namun mereka menolak dan tetap menyelenggarakan Salat Jumat di jalan. (Baca juga:
Anak Ahmadiyah di NTB Diperlakukan Diskriminatif)
Karena permintaan ini tak digubris, warga kemudian menghubungi FPI karena merasa tak bisa membujuk anggota Ahmadiyah ini.
"Ketika kami datang ke lokasi, kami membantu memisahkan dan memediasi untuk selanjutnya dibawa ke Kecamatan," kata Awit.
Insiden tersebut bisa diselesaikan secara damai. Pembicaraan kemudian dilakukan dengan difasilitasi oleh kepolisian dan pejabat setempat. "Toleransi dan proses dialog masih dikedepankan masyarakat," kata Awit. (Baca juga:
Komisioner Komnas HAM: FPI Titik Rawan Toleransi Beragama)
Sampai saat ini proses mediasi masih terus berlangsung, walaupun masih ada penolakan dari masyarakat. Ia berharap kedepannya, Jemaat Ahmadiyah dapat bertaubat untuk kembali ke jalan yang benar. Hal ini juga untuk mencegah kekhawatiran terjadi keributan ke depannya.
Ia juga meminta kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada ahmadiyah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden untuk membubarkan ahmadiyah.
Sebelumnya Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian mengatakan, polisi tidak mentolerir adanya kekerasan yang mengatasnamakan agama. Oleh karena itu upaya mediasi dikedepankan dalam menyelesaikan insiden di Tebet tersebut.
Proses mediasi dianggap penting mengingat Indonesia memegang prinsip toleransi antarumat beragama dan pemeluk kepercayaan. Tiap orang berhak untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing.
"Kalau ada pelanggaran hukum, hukuman ada, aturan ada, kami akan melakukan proses penegakan hukum," kata Tito.
(sur)