Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin mengungkapkan bahwa pihaknya memperkirakan tanggal awal Ramadan akan sama dengan Nadlatul Ulama (NU) hingga tahun 2023.
"Insya Allah kondisi seperti ini (prediksi awal Ramadan Muhammadiyah dan NU sama) akan berlangsung, katanya, sampai 2023. Kondisi sama ini," ujar Din di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (16/6), sebelum bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Din menjelaskan, penentuan tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal dalam 100 tahun mendatang sebenarnya sudah bisa diprediksi menggunakan ilmu falaq yang berbasis astronomi, fisika, dan matematika yang diyakini hasilnya mendekati pasti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perjalanan matahari, bulan, bumi itu menurut perintah Alquran bisa diobservasi untuk menentukan, karena peredaran bulan mengelilingi matahari itu tidak persis 30 hari, tapi 29 hari lebih. Maka bulan Islam itu tidak selalu 30 hari, kadang-kadang 29 hari," kata dia.
Hal itulah, imbuh dia, yang membuat Muhammadiyah melihat rukyat dengan akal pikiran atau ilmu, bukan dengan mata atau indrawi. Meski demikian, ia meyakini bahwa untuk tahun ini penentuan tanggal akan sama dengan NU.
Din memaparkan, Muhammadiyah telah memutuskan tanggal ini jauh-jauh hari. "Malam ini, ijtimak atau konjungsi, itu matahari pada garis lurus bulan dan bumi, itu baru terjadi jam 21.00 lewat sekitar 67 menit nanti setelah matahari terbenam," kata dia. Itu berarti, kata dia, malam ini belum bisa dianggap malam pertama Ramadan. Muhammadiyah menetapkan besok malam sebagai malam pertama Ramadan atau puasa pada Kamis (18/6). (Baca juga:
Muhammadiyah Tetapkan Awal Ramadan Kamis)
"Tapi, karena malam ini waktu matahari terbenam nanti pukul 17.48 menit, 46 detik, sore hari ini belum terjadi konjungsi, maka tidak ada yang bisa lihat bulan itu. Maka pemerintah akan perpanjang Syaban sampai besok malam. Insya Allah sama. Masih akan ditentukan oleh rapat isbat," ujar dia.
Selama ini, tutur Din, dalam menentukan awal bulan baru, Muhammadiyah memiliki tiga kriteria. Pertama, terjadinya ijtimak atau konjungsi di mana matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis lurus. "Itu pertanda bulan lama berakhir, bulan baru akan datang," kata dia. (Baca juga:
Menteri Agama Dituntut Netral dalam Penetapan Awal Ramadan)
Kedua, ijtimak itu harus terjadi sebelum matahari terbenam. Terakhir, saat matahari terbenam, bulan masih di atas ufuk. "Dua derajat, satu derajat, setengah derajat. Itu yang kami anggap sebagai hilal," ujar Din.
Ia mengaku tidak menyampaikan kesamaan pandangan ini kepada Presiden Jokowi, karena Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sudah mengambil prakarsa. Selain itu, ucap dia, Muhammadiyah dan NU sudah saling mendekat dan saling mengunjungi untuk membahas hal ini.
(hel)