Jakarta, CNN Indonesia -- Batavia terkenal sebagai kota yang paling tidak sehat. Pernyataan ini ditulis seorang Belanda bernama P.H. van der Burg pada buku berjudul Malaria in Batavia in The 18th Century.
Van der Burg mencatat, sebelum tahun 1733 Batavia sebenarnya merupakan kota yang tidak ramah penyakit. Namun, tahun-tahun setelah itu angka kematian di kota pesisir ini melonjak.
“Setelah tahun 1733, jumlah itu meningkat 2000 sampai 3000 kematian per tahun. Sebagian besar kematian dialami calon pegawai VOC asal Eropa yang belum setahun menetap di Batavia,” ungkap van Der Burg.
(Baca juga: Buah Karya 'Pajak Lendir' Era Bang Ali Pimpin Jakarta)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu penyebab kematian ribuan di Batavia kala itu adalah penyakit malaria. Mengutip data Dinas Kesehatan pemerintah kolonial Belanda, van der Burg mengatakan malaria menjadi endemi akibat perkembangbiakan nyamuk yang masif di tambak-tambak ikan yang tersebar di pesisir utara Batavia.
Kronik munculnya kawasan elite di Jakarta bernama Menteng tidak dapat dilepaskan dari wabah malaria di Batavia pada awal abad ke-18 tadi. Rohaniawan dan sejarahwan Adolf Heuken menuturkan, peristiwa tragis itulah yang menggeser pemukiman warga Batavia ke kawasan baru: Weltevreden (sekarang kawasan Gambir hingga Lapangan Banteng).
Tak cuma malaria, pembantaian etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 juga memicu perpindahan masyarakat dari Batavia (sekarang Kota Tua) ke Weltevreden. “Dua hal tadi menyebabkan Batavia loyo dan tidak aman,” kata Adolf kepada CNN Indonesia pekan lalu.
(Baca juga: Rayuan Keroncong Jembatan Batu di Macao Po)Hal serupa dinyatakan pewarta senior, Alwi Shahab. Ia berkata, tahun 1808 Gubernur Jenderal Wilem Herman Daendels memintahkan pusat kota ke Weltevreden karena pesisir pantai telah menjadi sarang penyakit. “Ada yang menyebutnya sebagai kuburan orang Belanda,” kata Alwi.
Di Weltevreden, pemerintah kolonial membangun pemukiman dengan gaya Jawa. Rumah-rumah di kawasan itu memiliki kebun yang luas. Dihapuskannya perbudakan pada tahun 1859 dan mendaratnya sekelompok wanita Belanda di Batavia kemudian menunut munculnya pemukiman baru.
“Rumah-rumah yang besar di Weltevreden tadi sudah tidak cocok lagi. Perlu daerah baru yang dibangun dengan gaya kota taman. Rumahnya kecil dan terdiri dari kebun, rumah induk, rumah kecil, kanan-kiri juga kebun,” ucap Adolf.
Orang Moor dan Perusahaan PengembangAdolf dalam bukunya berjudul Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia menulis, pada pertengahan abad ke-18 pemilik tanah di Menteng adalah seorang ‘moor’ (Arab) bernama Assan Nina Daut dan seorang Eropa bernama Pieter du Chene de Vienne.
Pada awal abad ke-19, seorang bernama Jakob Barends juga memegang tanah ini. Akan tetapi, sebagian tanah partikelir Menteng tetap dimiliki orang-orang Arab. Adolf berkata, orang-orang yang datang dari Hadramaut itu membeli tanah bukan untuk ditinggali, tapi untuk mereka perjualbelikan sesudah harga tanah naik.
Pada tahun 1866 seroang Arab bernama Said Mohamad bin Achmat bin Hassan memiliki tanah di Menteng dan tiga tahun kemudian seorang bernama Noraini juga dicatat sebagai pemilik tanah di sana.
(Baca juga: Jilakeng, Benih Pelacuran di Jantung Batavia)Sejak tahun 1881 sampai 1910, Almanak van Nederlandsch yang sejak tahun 1864 merupakan sumber tentang tanah partikelir menyebut anggota keluarga Shahab sebagai landheeren alias tuan tanah dari Menteng.
Daerah Menteng tidak hanya dibentuk atas bekas tanah partikelir Menteng tapi juga tanah partikelir Gondangdia. Pada tahun 1869 Tuan Hanking tercatat sebagai pemilik tanah partikelir Gondandia, sampai hak milik itu dipegang Nyonya Meijer sampai tahun 1884.
Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda membeli dua tanah partikulir itu untuk mengembangkan kawasan pemukiman baru bagi pegawai pemerintahan mereka, di luar Weltevreden.
“Weltevreden dikembangkan dengan gaya Jawa, rumah berkebun luas. Sementara itu Menteng dengan rumah yang rapat, menerapkan gaya Belanda. Menteng dan Gondangdia sangat cocok untuk memperluas wilayah perumahan golongan berada,” ucap Adolf.
(Baca juga: Napak Tilas Bisnis Pelacuran Jakarta) Adolf bercerita, untuk mengubah tanah partikelir Menteng dan Gondangdia dari kawasan pertanian menjadi pemukiman elite, pemerintah kolonial Belanda menunjuk perusahaan De Bouwploeg. Penanggung jawab pembangunan dipegang insyur sekaligus orang nomor satu di perusahaan pengembang itu, P.A.J Moojen.
Adolf mengatakan, De Bouwploeg ketika itu sudah membuat masterplan pembangunan Menteng. Cetak biru proyek itu menggambarkan jalan-jalan yang akan dibangun, besarnya rumah dan kavling hingga aturan rumah mana yang boleh dibangun satu tingkat dan mana yang dua tingkat.
“Ada jalan Teuku Umar, ada juga jalan besar seperti Diponegoro. Mohammad Yamin agak besar, lalu ada jalan yang lebih kecil lagi. Tapi yang jelas setiap rumah ada taman atau kebun. Bangunan rumah tidak boleh sampai ke batas kavling,” tuturnya.
Proyek pembangunan Menteng berhenti ketika Jepang menginvasi Hinda Belanda pada 1942. Adolf berkata, setelah era kemerdekaan, Menteng berkembang tak tentu arah. “Sesudah perang, semua orang bisa membeli tanah di Menteng dan dapat membangunnya tidak sesuai masterplan yang dibuat Bouwploeg,” katanya.
Tak lama setelah mendarat di Indonesia pada tahun 1963 untuk menjalankan tugas sebagai Jesuit, Adolf membeli tanah dan rumah di dekat Taman Kodok. Di rumah yang dibangun tahun 1934 itu, Adolf berkarya melalui Yayasan Cipta Loka Caraka.
“Satu per satu rumah di Menteng diubah. P2B (Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan) bodoh setengah mati,” ucap Adolf yang pernah menjadi anggota dewan penasehat lembaga itu selama lima tahun, di era Gubernur Fauzi Bowo.
"Mereka izinkan apa saja, asalkan mendapat duit,” tutur Adolf.
(sip)