LIPUTAN KHUSUS ULTAH JAKARTA

Rayuan Binal dari Atas Becak di Kawasan Senen

Tim CNN Indonesia | CNN Indonesia
Senin, 22 Jun 2015 10:18 WIB
Salah satu kawasan pelacuran terbesar di ibu kota pasca kemerdekaan menurut Abah adalah kawasan Senen dan sekitarnya. Mulai dari stasiun hingga ke Tanah Nyonya.
Ilustrasi prostitusi. (Thinkstock/AOosthuizen)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bicara soal pelacuran di Jakarta menurut Alwi Shahab tak akan pernah ada habisnya. Sejarawan sekaligus wartawan senior ini masih ingat betul bagaimana kehidupan dunia remang-remang pasca kemerdekaan saat dirinya masih jadi seorang pemuda gagah.

Ditemui CNN Indonesia di kediamannya di kawasan Condet, Jakarta Timur, Abah demikian dia biasa dipanggil, menceritakan detail beberapa kawasan pelacuran di ibu kota.

Salah satu kawasan pelacuran terbesar di ibu kota pasca kemerdekaan menurut Abah adalah kawasan Senen dan sekitarnya. Lokasinya cukup luas dari mulai Stasiun Senen hingga Tanah Nyonya. Saat itu adalah periode tahun 1950-an atau beberapa tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. (Baca juga: Napak Tilas Bisnis Pelacuran Jakarta) 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Ratusan rumah-rumah kecil buka siang dan malam di sepanjang rel kereta api,” kata Abah. Bahkan ada pula pelacur yang menggunakan gubuk kardus dengan alas seadanya untuk berhubungan badan dengan pelanggan. Rumah dan gubuk tersebut hanya dipakai untuk bertransaksi seksual. Sementara lokasi untuk menjajakan diri, para wanita ini dilakukan di jalanan.


Sore menjelang malam, para pelacur yang umumnya datang dari daerah Indramayu, Karawang dan beberapa daerah lain keluar. Sepanjang jalan Kramat saat sore mulai diwarnai perempuan yang menawarkan jasa kencan itu.

Ada yang berdiri di tepi jalan, namun ada pula yang mangkal di atas becak. “Pelacur duduk di atas becak, menawarkan diri dan bertransaksi,” kata Abah.

Jika harga disepakati, becak tersebut akan membawa pelacur tersebut bersama pelanggannya ke lokasi mereka akan memadu asmara. Tempat tersebut bisa di kamar kecil seadanya, gubuk kardus di pinggir rel atau bahkan di dalam gerbong kereta yang tak dipakai lagi. (Baca: Ahok Gagas Pembuatan Apartemen Khusus Prostitusi)

Dunia pelacuran saat itu menurut Abah nampak jelas di depan mata. Saat itu tak dikenal istilah lokalisasi atau komplek pelacuran. Perempuan binal penjaja cinta bebas mencari calon pelanggannya kapan saja mereka suka tanpa takut ditertibkan petugas.

Para pendiri republik sepertinya belum memikirkan membuat aturan soal pelacuran ini. Akibatnya pelacuran terus merebak. Penyakit kelamin menjangkiti mereka yang doyan “jajan”. Abah masih ingat pertengahan dekade 1950-an di daerah Kwitang, ada seorang lelaki terserang penyakit spilis, dulu dikenal dengan istilah raja singa.
Ilustrasi hiburan malam. (kzenon/Thinkstock)

“Alat kelamin laki-laki itu bengkak dan mengeluarkan bau busuk,” ujar Abah. Laki-laki itu terlihat kesulitan saat berjalan. Gaya jalan ngangkang itu lalu lalu disebut dengan jalan pehong yang berarti sakit spilis. Konon istilah ini berasal dari kata pech (sial) dan jong (bung) untuk menggambarkan kesialan mereka yang terkena spilis. (Baca juga: Jilakeng, Benih Pelacuran di Jantung Batavia)

Dokter dan Kondom

Zaman itu kesadaran akan bahaya penyakit kelamin belum seperti saat ini. Namun beruntung menurut Abah, anti biotik (dulu dikenal dengan nama penisilin) sudah ditemukan saat itu.
Seorang dokter yang buka praktik di Tanah Abang ada yang menawarkan jasa mengobati penyakit ini.

“Nama dokternya dokter Ong, dia terkenal sekali karena memberi suntikan penisilin itu,” kata Abah.

Sementara di Pasar Senen di belakang Bioskop Rivoli ada dokter Basri. Pria yang doyan jajan tak segan meminta suntikan penisilin lebih dulu kepada dr Basri agar terlindungi dari penyakit kotor spilis. (Baca juga: Rayuan Keroncong Jembatan Batu di Macao Po)

Alat pelindung seperti kondom memang sudah ada kala itu. “Namanya dulu kapoces,” ujar Abah. Beberapa rumah pelacuran menyediakan kapoces bagi pelanggan yang ingin menggunakannya. Tapi karena memang kesadaran masyarakat rendah, banyak pria hidung belang enggan memakai kondom. Akibatnya, spilis semakin merajalela.

“Memang perempuan pada zaman itu sudah banyak yang kena penyakit kotor,” kata Abah. Namun meski begitu, pelanggan tetap berdatangan. Belakangan, para pelacur tersebut bahkan diberi tempat resmi dalam bentuk lokalisasi di Kramat Tunggak. (sip)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER