Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin menilai gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) tidak termasuk dalam gerakan Islam garis keras.
"ISIS itu gerakan politik, bukan islam radikal, dia punya tujuan politik tertentu," kata Din ditemui di kantornya, Jakarta, Sabtu (7/4).
Dia mengatakan gerakan politik ini sama dengan yang terjadi di Indonesia sejak zaman Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1950-an. Din menyebut gerakan tersebut lebih didasari masalah internal negara ketimbang faktor agama.
(Baca Juga: FOKUS Polisi Indonesia Tewas di ISIS)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jangan dilihat sebagai Islam garis keras. Menggunakan nama Islam boleh jadi hanya untuk daya tarik," kata Din.
Oleh karena itu, dia mengatakan anggapan yang menyebut gerakan Islam garis keras di Indonesia sudah berakar sejak lama adalah anggapan yang salah. Jika dipercaya demikian, maka Islam menjadi terjustifikasi biasa melakukan kekerasan.
"Kekerasan yang mengatasnamakan agama itu tidak hanya di Islam, tapi hampir di semua agama. Hanya saja pers Barat tidak mau mengangkat," kata Din. "Ini bias, tidak adil, harus ditolak."
Isu ISIS, menurut Din, sebenarnya adalah permainan negara-negara adikuasa untuk memecah belah negara-negara di Timur Tengah. Dia pun meyakini di Indonesia sebenarnya gerakan tersebut tidak berkembang.
(Lihat Juga: Said Aqil Akui ISIS Bisa Berkembang di Indonesia)Hanya saja, kelompok-kelompok teroris Indonesia merasakan kecocokan dengan apa yang ditampilkan oleh ISIS di Timur Tengah. Oleh karena itu, maka kelompok tersebut menyatakan berafiliasi terhadap ISIS.
Kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpin oleh Santoso dan beroperasi di Poso, Sulawesi, telah menyatakan berafiliasi kepada ISIS. Informasi tersebut pun dibenarkan oleh Kepolisian.
"Di Indonesia itu ISIS tidak ada. Apalagi arus utama Islam Indonesia sangat moderat. Maka kami optimistis Indonesia tetap berkembang, bangsa yang berdasarkan Pancasila itu kami kembangkan," kata Din.
Sementara itu, Saaed Attia Mottaw, seorang ulama asal Mesir yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Bahasa dan Terjemahan di Universitas Al-Azhar mengatakan situasi beragama di Indonesia kembali seperti zaman Nabi Muhammad.
"Terdapat kelompok masyarakat dan berbagai agama, Yahudi, Nasrani, Islam, dan suku-suku yang satu sama lain tidak saling mengetahui serta cenderung saling mengafirkan," ujarnya.
Diapun mengatakan, jalan keluar untuk mencegah paham radikalisme di Indonesia adalah dengan menggunakan apa yang dia sebut pernah digunakan oleh Nabi Muhammad pada masanya.
"Mempersatukan umat manusia lewat konstitusi, dengan membuat kesepakatan untuk saling menghargai."
Dengan berkomunikasi, katanya, hubungan antar umat akan menjadi lebih baik karena saling mengenal. Saaed pun mengimbau umat Muslim untuk mulai berkomunikasi dengan umat agama-agama lain.
"Lewat dialog itu tentu ada yang tidak bisa diterima dan tidak bisa dipaksakan, tapi inilah visi humanisme Islam, La Ikraha Fiddin (tidak ada paksaan dalam memeluk agama)," kata dia.
Belakangan isu ISIS di Indonesia kembali mencuat setelah seorang anggota Kepolisian disebut tewas di medan perang bersama kelompok tersebut. Dia adalah Brigadir Syahputra, anggota Kepolisian Resor Batanghari, Jambi.
Menurut Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, Syahputra memang menghilang sejak Februari lalu dan tidak pernah kembali bertugas. Berdasarkan penyelidikan, ternyata dia meninggalkan Indonesia menuju Malaysia, setelah menceraikan istri dan mewariskan harta kekayaannya.
Selepas itu, Polri belum mendapatkan kepastian apakah Syahputra memang berangkat ke Suriah dan tewas di sana. Menurut Badrodin, pihaknya masih melakukan penelusuran untuk membuktikan kebenarannya.
(utd)