Polri Diminta Tak Ikuti Jejak Militer Orde Baru

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Minggu, 26 Jul 2015 23:10 WIB
Direktur Imparsial, Al Araf, mengatakan pasal pencemaran nama baik hampir sama dengan pasal subversif yang digunakan orde baru untuk memenjarakan aktivis.
LBH Jakarta bersama berbagai element masyarakat melakukan aksi Karnaval Rakyat Lawan Korupsi dari patung kuda menuju Istana Negara, Jakarta, Rabu (8/4) dengan tuntutan penghentian kriminalisasi. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pegiat antikorupsi menilai Polri banyak melakukan kriminalisi terhadap individu-individu yang memperjuangkan pemberantasan korupsi. Perilaku ini dinilai serupa dengan apa yang dilakukan militer pada rezim orde baru.

Menurut Direktur Imparsial, Al Araf, pasal pencemaran nama baik hampir sama dengan pasal-pasal subversif yang digunakan rezim orde baru untuk memenjarakan para pegiat yang menentang kekuasaan Soeharto.

"Ini pola yang sudah berulangkali terjadi. Ketika pasal pencemaran nama baik yang menjadi pasal karet dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)," kata Al Araf di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Minggu (26/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia mengatakan, seharusnya KUHP direvisi sehingga perkara pencemaran nama baik, seperti yang sekarang menjerat Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dan Komisionernya, Taufiqurrahman Syahuri, dikategorikan ke dalam hukum perdata. (Baca Juga: Penetapan Suparman Tersangka Tak Pengaruhi Kinerja KY)

"Karena ada realitas pasal-pasal itu menjadi dasar terjadinya kriminalisasi, penyalahgunaan hukum, penyalahgunaan kekuasaan dan lain sebagainya," ujarnya.

Oleh karena itu, dia mengimbau Polri untuk berhati-hati dalam mengambil sikap terkait persoalan ini. Dia mencontohkan, rezim orde baru telah melakukan kriminalisasi menggunakan pasal-pasal subversif sehingga citranya tercoreng di mata masyarakat.

"Akhirnya militer mengalami stigma buruk dan mengalami delegitimasi. Polri harus menjadikan itu sebagai pelajaran agar tidak melakukan langkah yang sama, yakni tidak menggunakan pasal karet," ujarnya. 

Saat ini, selain Suparman dan Taufiqurrahman, dua pegiat antikorupsi Indonesia Corruption Watch juga telah dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Polri. Pelaporan Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo juga dinilai Al Araf membahayakan kebebasan pendapat. (Lihat Juga: Kabareskrim: Komisioner KY Tersangka Bukan Balas Dendam)

Dari sudut pandang jurnalistik, Wahyu Widyatmika dari Aliansi Jurnalis Indonesia menilai pelaporan petinggi KY dan pegiat antikorupsi itu sebenarnya adalah sengketa jurnalistik yang semestinya diselesaikan lewat Dewan Pers.

Dia mengatakan, dalam hal ini pelapor menggunakan pemberitaan media sebagai dasar laporan dan polisi menindaklanjutinya. Padahal, polisi bisa saja tidak memproses laporan itu.

Sementara itu, sengketa ini dia nilai tidak akan terjadi jika pernyataan Emerson dan Adnan tidak dimuat oleh media. Dalam hal ini, semestinya pemimpin redaksi media yang memuat pernyataan kedua pegiat tersebut yang bertanggungjawab.

"AJI mengimbau, kalau wartawan dipanggil untuk bersaksi, serahkan ke pemimpin redaksi dan serahkan ke Dewan Pers. Kalau memberikan keterangan detil wartawan akan menjadi bagian dari kriminalisasi," ujarnya.

Dia juga mengatakan, fenomena ini berbahaya untuk kebebasan pers. Jika kelak para terlapor dinyatakan bersalah di peradilan, bisa jadi tidak ada lagi narasumber yang berani berbicara kritis kepada media.

"Yang sekarang terjadi di Indoensia, bukan masalah Adnan dan Emerson personal, tapi sesuatu yang sudah dinikmati belasan tahun sekarang. Kalau orang takut jadi tersangka, pers tidak bisa membuat berita yang kritis," ujarnya.

Sementara itu, penyidik menunggu sikap dewasa kedua belah pihak. Dalam hal ini, Kepala Subdirektorat III Tindak Pidana Umum Bareskrim Komisaris Besar Umar Surya Fana mengatakan pihaknya tidak mewakili pihak pelapor maupun terlapor.

"Yang jelas, penekanan saya, jangan jadikan penyidik sebagai common enemy (musuh bersama) buat terlapor atau siapapun juga yang merasa jadi pembela terlapor," ujarnya.

Dia berharap masyarakat kembali merujuk kepada KUHAP dalam hal penegakan hukum dan tidak terbawa oleh opini-opini yang dibentuk oleh kedua belah pihak.

"Sebenarnya tidak ada opini publik, yang ada opini pribadi yang dipublikasikan," kata Umar. (utd)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER