Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Perwakilan Rakyat tak menjamin bakal menuruti kehendak pemerintah menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang diajukan dalam draf revisi Rancangan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
“Memang (pasal penghinaan presiden) tercantum dalam RUU, tapi itu kan masih rancangan dan belum tentu diterima oleh DPR seperti apa adanya," kata anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, Selasa (4/8).
Pasal penghinaan terhadap presiden sesungguhnya saat ini telah hilang dari KUHP setelah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Namun pasal itu kembali tertera dalam draf revisi RUU KUHP yang diberikan pemerintah ke DPR awal Juni lalu, di akhir masa sidang keempat DPR periode 2014-2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arsul menyatakan DPR belum lagi mulai membahas RUU KUHP. Pembahasan baru akan dilakukan begitu memasuki masa sidang kelima, pertengahan Agustus ini.
Juru bicara PPP kubu Romahurmuziy itu menyebut pasal penghinaan presiden sebagai kategori pasal yang memiliki aspek sensitivitas publik tinggi. Oleh sebab itu pengambilan keputusan mengenai pasal itu tak bisa main-main.
Menurut Arsul, DPD akan mendengar pendapat dari para ahli, praktisi hukum, hingga masyarakat sipil lebih dulu sebelum memutuskan. "Pokoknya mereka yang peduli terhadap pasal tersebut," kata dia.
"Maka dari itu ada baiknya pasal tentang penghinaan tersebut menjadi diskursus publik sekarang, apalagi pada masa sidang Agustus ini RUU KUHP akan mulai dibahas," kata Arsul.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengakui pembahasan RUU KUHP tak mungkin selesai dalam waktu dekat. Namun dia meyakini semua akan rampung dalam jangka waktu dua tahun.
"Ini tidak seperti UU lain yang bisa selesai satu-dua masa sidang. Pembentukannya saja lebih dari 30 tahun," kata Yasonna.
Saking yakin bakal rampung dalam waktu dua tahun, Yasonna dan Komisi III DPR sempat membicarakan tentang kemungkinan anggota DPR masuk lebih cepat dan memotong masa resesnya. Namun itu belum terlaksana hingga kini.
Pasal penghinaan presiden semula berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Ruang lingkup pasal itu lantas diperluas lewat Pasal 264 RUU KUHP yang berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
(agk)