Lebak, CNN Indonesia --
Masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Banten telah membuat peta kawasan adatnya. Peta tersebut juga disetujui oleh perangkat desa dan masyarakat Kasepuhan yang berbatasan langsung dengan kawasan tersebut."Peta Kasepuhan ini diperlukan untuk untuk membuktikan keberadaan wilayah adat sebagai salah satu syarat pengakuan pemerintah untuk pemenuhan unsur Masyarakat Hukum Adat sesuai di Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan," kata Manajer bidang Pemberdayaan Masyarakat Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Rojak Nurhawan, ditemui di Lebak. (Lihat Juga: DPRD Lebak Garap Perda Masyarakat Adat)
Selain itu, kata Rojak, peta tersebut juga berfungsi sebagai kesepakatan batas antara wilayah Kasepuhan dengan desa tetangga untuk menghindari kemungkinan konflik perbatasan.
Tak hanya itu, peta juga digunakan sebagai upaya penyelesaian konflik dengan Taman Nasional Gunung Halimun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui, sejak 2003, perluasan Taman Nasional telah mencaplok kawasan adat yang sudah ditinggali masyarakat Kasepuhan dari generasi ke generasi. (Baca Juga: Kementerian LHK Akui Kawasan Adat sebagai Hutan Hak)“
Terdapat 11 kasepuhan dari 58 di Kabupaten Lebak yang wilayah adatnya diklaim masuk ke dalam wilayah kelola Taman Nasional. Dari pemetaan ini, diketahui 14.138 hektare area Kasepuhan tumpang tindih dengan hutan negara,” kata Rojak.
Artinya, kata dia, 67% dari data wilayah Kasepuhan yang sudah terpetakan, di luar Kasepuhan Ciptagelar, tumpang tindih dengan klaim wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Angka ini akan berubah apabila jumlah kawasan yang dipetakan bertambah.Proses pengesahan peta dilakukan pada Rabu (12/8), disaksikan pemerintah desa, sesepuh dari beberapa Kasepuhan, perwakilan perempuan Kasepuhan, perwakilan Kepolisian, TNI, dan Badan Legislatif Kabupaten Lebak. Pantauan CNN Indonesia, sama sekali tidak ada penentangan selama proses pemaparan rancangan peta tersebut. Pengesahan itu menambah jumlah peta yang telah disetujui masyarakat.
 Pemimpin adat Kasepuhan Pasir Eurih, Abah Aden, menandatangani peta wilayah adat di kediamannnya, Kabupaten Lebak, Banten, Rabu (12/8). (CNN Indonesia/ Rinaldy Sofwan Fakhrana) |
Sebelumnya, peta Kasepuhan Karang, Cirompang, Cibedug, Citorek, Cisitu dan Ciptagelar telah lebih dulu disepakati dan disahkan. Dengan pengesahan ini, dipastikan wilayah Kasepuhan Pasir Eurih membentang seluas 21.052 hektare. Ketua DPRD Kabupaten Lebak Djunaedi Ibnu Jarta (tengah) bersama ibu-ibu masyarakat adat Kasepuhan di Kantor DPRD Lebak, Banten, Kamis (13/8). |
“
Proses penyusunan peta-peta ini, termasuk peta Kasepuhan Pasir Eurih dan Sindang Agung dikerjakan oleh masyarakat yang bertugas untuk mendata tata batas wilayah yang akan dipetakan," kata Yadi Rohandi, tokoh pemuda Kasepuhan Pasir Eurih yang turun langsung memimpin tim pemetaan.Proses itu, kata Yadi, dilanjutkan dengan verifikasi ke wilayah-wilayah yang berbatasan dengan teritori dan perangkat pemerintahan desa. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lebak saat ini sedang menggarap rancangan peraturan daerah untuk mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan.
Peraturan tersebut ditargetkan selesai tahun ini untuk mengembalikan hak masyarakat adat yang wilayah tempat tinggalnya tumpang tindih dengan kawasan Hutan Taman Nasional.Ketua DPRD Lebak Djunaedi Ibnu Jarta mengatakan, legislatif mendukung perjuangan masyarakat adat karena masyarakat adat di daerahnya bukan hanya sekadar kumpulan orang yang menetap di satu kawasan tertentu."Saya tidak memandang masyarakat adat tidak sebagai komunitas, tapi sebuah entitas budaya yang perlu dilestarikan bersama," ujarnya di kantor DPRD Kabupaten Lebak, Banten.
Berdasarkan data Epistema Institute, sejauh ini telah terdapat 124 produk hukum daerah mengenai masyarakat adat dengan luasan wilayah, tanah dan hutan adat yang ditetapkan melalui perda adat seluas 15.577 hektar.
Sebanyak 59 produk hukum adat berasal dari wilayah Sumatera, wilayah Kalimantan sebanyak 40, daerah Maluku dan Papua berjumlah 12, wilayah Sulawesi sebanyak 9 perda, dan daerah Jawa-Bali-Nusa Tenggara sebanyak 7 produk hukum daerah.
Dari angka tersebut 28 produk hukum terdapat di 10 provinsi, sementara 96 lainnya ada di 44 kabupaten/kota.
(utd/utd)