Jakarta, CNN Indonesia -- Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Jimly Asshiddiqie menilai koruptor sebaiknya tak dihukum mati. Pakar hukum tata negara ini menilai ada cara lain untuk memberatkan hukuman pelaku tindak pidana korupsi.
"Yang harus didiskusikan korupsi ini, sanksinya diarahkan, misal perampasan dipertegas," kata Jimly ketika ditanya panitia dalam seleksi wawancara calon pimpinan KPK di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (25/8).
Menurutnya, kebijakan pidana hukuman mati harus mempertimbangkan asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Pidana hukuman mati, mengurangi penerapan asas Pancasila tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di rancangan RUU KUHP dan berbagai undang-undang, ada delapan hukuman mati dan seharusnya dikurangi," kata Jimly.
Pernyataan Jimly bertentangan dengan sikapnya saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Pada tahun 2007, Jimly dan majelis hakim memutuskan hukuman mati sesuai dengan konstitusi. Alhasil, hukuman mati tak bertentangan dengan hak hidup yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Pertentangan sikap pun dipertanyakan oleh panitia seleksi Harksituti Herkrisnowo. "Bapak merevisi putusan MK kalau begitu?" kata pakar hukum ini.
Menanggapi pernyataan tersebut, Jimly menjawab putusan MK harus dihormati. Meski demikian, diperlukan adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman.
Jimly juga mengaku, saat pengambilan keputusan sebenarnya dirinya tak sepakat dengan hukuman mati. Namun, lantaran tak mau berbeda pendapat (dissentinf opinion) dengan hakim lain, ia mengetuk palu setuju.
"Alasannya saya ketua. Contoh suaranya 4-5 saat hukuman mati. Saya tidak tulis dissenting. Kalau saya bersama suara yang lima (mendukung), tidak ada masalah. Tapi jadi masalah kalau saya tulis dissenting dan (ikut) di empat suara," katanya.
Dalam putusan MK, hukuman mati dapat dijeratkan sebagai ancaman pidana untuk produsen dan pengedar secara gelap untuk ganja dan heroin.
Sementara itu, dalam Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, siapa pun yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan cara melawan hukum, dapat dipidana dengan hukuman mati dalam keadaan tertentu. Lebih jauh, hukuman mati dapat dijeratkan pada pidana korupsi dalam keadaan darurat seperti bencana alam.
Menilik latar belakang, Jimly Asshiddiqie tercatat tengah aktif sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia dan Ketua Dewan Penasihat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jimly juga diberi amanat Presiden Joko Widodo menjadi bagian dari Tim Sembilan. Tim tersebut bertugas untuk menyelesaikan konflik KPK dan Polri. Pakar hukum tata negara ini juga tengah menduduki kursi anggota Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan Republik Indonesia sejak tahun 2010.
Di tahun yang sama, ia juga didaulat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia Bidang Hukum dan Ketatanegaraan era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya, Jimly pernah menjabat seagai Ketua Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 hingga 2008. Di luar menyidang perkara konstitusi, Jimly tak ada kegiatan selain bidang akademik.
Jimly memperoleh gelar sarjana hukum dari Universitas Indonesia pada tahun 1982. Selanjutnya, ia merampungkan gelar magister dan doktor dari kampus yang sama. Kemudian, ia menyempurnakan studi lanjut pada Harvard Law School, Cambridge, Massachussett.
(sur)