Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Minggu lalu, dalam acara Malam Peluncuran Nyanyian Yang Dibungkam (Prison Songs), Fajar Merah melantunkan lagu “Bunga dan Tembok” yang diawali oleh pembacaan puisi “Sajak Anak-Anak” yang dibawakan oleh adik sepupunya Meicesia Kasih Yushiva.
“Bunga dan Tembok” dan “Sajak Anak-Anak” adalah puisi-puisi karya Wiji Thukul (ayahanda Fajar Merah) yang berkisah tentang kegeraman orang kampung yang melihat kerakusan kota dan pembangunan sangat buas menelan mereka.
Mereka berdua sengaja mempersembahkan lagu dan puisi itu untuk anak-anak Kampung Pulo, yang pagi sebelumnya keberingasan Satpol PP dan polisi secara paksa menghancurkan rumah-rumah mereka, tempat bermain mereka dan harapan mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada kemarahan diwajah mereka, apalagi Fajar Merah. Jika anak-anak Kampung Pulo terenggut tempat bermainnya, Fajar Merah tak akan lupa bahwa kekuasaan yang bengis merenggut masa-masa indah bermainnya dengan ayahnya yang dicintai: Wiji Thukul.
Dalam setiap dentingan gitar, dalam getar syair-syair yang dinyanyikan Fajar Merah malam itu, membuat semua orang yang pernah dekat dengan Wiji Thukul akan merasa kembali ke masa silam, merasakan semangat dan amarah Thukul yang tak tahan melihat kesewenang-wenangan. Puisi-puisi Thukul yang dinyanyikan Fajar Merah, tak sekedar dimusikalisasikan tetapi memberi nyawa.
Sebagai adik kandung Wiji Thukul, dengan membaca puisi-puisi Thukul dan juga mendengar puisi-puisinya yang dilagukan Fajar Merah, membawa kenangan masa lalu, melewati masa-masa sulit di masa kecil, dan tentu saja merindukannya ketika dia tak jelas rimbanya dihilangkan kekuasaan.
Thukul adalah kakak yang “ngemong” tetapi realistis juga optimis, cermat merekam apa yang kami hadapi setiap hari, bahkan pertengkaran orangtua kami karena penghasilan yang didapat tak lagi cukup untuk hidup sehari-hari. Simak saja dalam puisi “Puisi untuk Adik”
Apakah nasib kita akan seperti sepeda rongsokan ituO, tidak, dik!Kita akan terus melawanWaktu ang bijak bestari kan sudah mengajari kitaBagaimana menghadapi deritaKitalah yang akan memberi senyum kepada masa depanJangan menyerahkan diri pada ketakutanKita akan terus bergulatApakah nasib kita akan seperti sepeda rongsokan karatan?O, tidak, dik!Kita harus membaca lagiAgar bisa menuliskan isi kepala dan memahami duniaPuisi itu ditulis ketika aku menjelang lulus SMA dan mulai putus asa untuk melanjutkan sekolah ke jenjang universitas karena keterbatasan biaya. Selepas itu, dia mengajakku menabung untuk biaya sekolah dengan menjadi loper koran.
Kakakku, Wiji Thukul sendiri sejak kecil merasa terkungkung oleh sekolah yang membosankan tetapi tetap percaya bahwa pendidikan yang membebaskan adalah cara-cara untuk melawan kekuasaan.
Kebosanannya tentang sekolah sangat jelas terbaca dalam puisi “Kenangan Anak Seragam”:
Pada masa kanak-kanakku setiap jam tujuh pagi aku harus seragamBawa buku harus mbayar ke sekolahKatanya aku bodoh kalau tidak bisa menjawab pertanyaan guru yang diatur kurikulumAku dibentak dinilai buruk kalau tidak bisa mengisi dua kali duaAku harus menghafal, mataku mau tak mau harus dijejali huruf-hurufAku harus tahu siapa presidenku, aku harus tahu ibu kota negarakuTanpa aku tahu apa maknanya bagikuPada masa kanak-kanakku aku jadi seragamBuku pelajaran sangat kejam, aku tidak boleh menguap di kelasAku harus duduk menghadap papan di depanSebelum bel tidak boleh mengantukTapi hari ini setiap orang memberi pelajaranDan aku boleh mengantukBaginya, pendidikan tidak hanya di bangku-bangku sekolah tetapi juga dalam pembelajaran di alam terbuka, di lingkungan dengan metode-metode yang membebaskan. Prinsip ini diterapkan ketika dia membangun Sanggar Suka Banjir, untuk membuka ruang kreativitas anak-anak untuk mengenal dan peduli pada lingkungan sekitarnya.
Itulah gambaran perlawanan Thukul terhadap status quo yang membelenggu. Mulanya pada sekolah dan akhirnya menggumpal membesar bagai bola salju, melawan kekuasaan dengan aktivitas kesenian dan keterlibatannya di arena pergerakan. Kekuasaan yang lalim telah menghilangkannya tetapi tak mampu menghentikan suara-suara yang menuntut tanggungjawab penghilangannya. Dan seperti namanya, Wiji Thukul, biji itu juga telah tumbuh membesar menjadi bunga yang akarnya terus membesar menjebol tembok itu. Biji itu adalah Fajar Merah dan anak-anak muda yang menatap masa depan dengan naluri perlawanan.
(sip)