Jakarta, CNN Indonesia -- Sudah sedari 15 tahun lalu laporan terhadap hilangnya Wiji Thukul alias Widji Widodo disampaikan kepada Polisi oleh istrinya, Sipon. Sejak saat itu pula Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan terhadap hilangnya seniman dan aktivis HAM tersebut.
Wakil Ketua Internal Komnas HAM, Siti Noor Laila menyatakan selama ini komisi telah bekerja mengumpulkan keterangan saksi untuk mengungkap hilangnya Thukul. Namun, salah satu kendala utama Komnas HAM mengungkap kasus tersebut adalah tidak adanya satupun pihak yang mengaku dan mau bertanggung jawab atas hilangnya Thukul.
(Simak Fokus: Selamat Ulang Tahun Wiji Thukul)"Kesulitannya tidak ada yang mau mengaku. Tidak ada yang mau membuat pengakuan. Kemudian juga penyidikan juga belum berjalan sehingga belum bisa diungkap duduk persoalannya," ujarnya kepada CNN Indonesia di Gedung Komnas HAM, Jakarta, kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siti menjelaskan, penanganan kasus hilangnya Thukul sama halnya dengan penanganan dua belas orang lain yang hilang sekitar pada kisruh 1997 sampai 1998. Menurutnya dugaan tersebut berdasar pengakuan para saksi dan korban yang kembali setelah dinyatakan diculik saat itu.
(Baca juga: Jika Saja Wiji Thukul Masih Ada)Sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Thukul dan yang lainnya dianggap telah mengalami tindak kejahatan, yaitu perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penyiksaan, penganiayaan, dan penghilangan secara paksa yang merupakan jenis-jenis kejahatan terhadap kemanuasian.
Namun, Komnas HAM tidak bisa memastikan temuan bukti-buktinya tersebut sampai ada penyidikan oleh pihak berwenang, dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
"Sejak tahun 2008, Komnas HAM telah menyampaikan berkas kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti. Posisi Komnas HAM hanya melakukan penyelidikan, selanjutnya bukan kewenangan kita lagi,” ujarnya.
Dihilangkan Secara SistematisBanyak kalangan sepakat bahwa Thukul dan sejumlah sosok aktivis yang hilang sampai saat ini merupkan tumbal dari penguasa saat itu. Thukul diduga dihilangkan karena kerap melontarkan kritikan-kritikan dan melancarkan aksi protes terhadap berbagai kebijakan yang mengesampingkan nilai HAM.
. (Baca juga: Kala Wiji Thukul Menjelma pada Segala Rupa)Komnas HAM dalam laporan penyelidikannya menyampaikan, ada unsur sistematis dalam kasus hilangnya Thukul dan beberapa orang hilang saat itu. Hal tersebut dilihat dari adanya perencanaan yang dilakukan pelaku dengan menggunakan fasilitas negara. Selain itu, terdapat kesamaan pola saat menangkap para korban, termasuk Thukul.
“Hilangnya Thukul mengarah pada proses sistematis. Karena dilakukan dengan adanya perintah, terencana, kemudian menggunkan kekuatan aparat negara. Tapi, kepastiannya ditentukan nanti di pengadilan.” ujar Siti.
Lebih lanjut, Siti tidak bisa menjelaskan secara rinci temuan penyelidikan Komnas HAM. Ia mengatkan, sesuai UU yang berlaku, pihak yang berhak mengetahui temuan bukti hasil penyelidikan adalah penyidik.
Namun, hasil penyelidikan, Komnas HAM menduga Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI (Polri) terlibat dalam kasus penghilangan orang secara paksa di beberapa daerah pada rentang tahun 1997 sampai 1998 dan sebelumnya.
Komnas HAM menyatakan penghilangan orang secara paksa dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Pasalnya, perbuatan tersebut dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa.
(Simak Ilustrasi: Mengilustrasikan Jejak Hidup Wiji Thukul)
Bolak-baliknya berkasTidak kunjung selesainya pengungkapan kasus hilangnya Thukul dan sejumlah orang hilang disebabkan adanya beda intepretasi penerapan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Komnas HAM antara komisi dengan Kejaksaan Agung
Siti mengatakan, perbedaan tersebut terjadi dalam hal prosedural dan substansial dalam materi berkas yang disampaikan ke Kejaksaan Agung.
“Misalnya dalam meminta keterangan saksi terkait penyelidikan penghilangan orang secara paksa seharusnya diminta sumpah. Namun, mengapa pada kasus Tanjung Priok, Timor-Timor dan Abepura tidak dipertanyakan,” ujarnya.
Komnas HAM berpendapat, bila ada hal-hal yang tidak diatur dalam UU tersebut, maka rujukannya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (KUHP).
Namun, Siti menyatakan, selama ini Komnas HAM tetap melakukan koreksi terhadap berkas yang tidak sesuai dengan Kejaksaan Agung sebagai langkah serta upaya percepatan dimulainya penyidikan.
“Pada dasarnya ada beda interpretasi dengan Kejaksaan Agung.” ujarnya.
Strategi Percepatan PengungkapanTerpilinya Joko Widodo alias Jokowi sebagai Presiden Indonesia seolah membawa angin segar bagi pengungkapan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia. Ia berkomitmen akan menyelesaikan kasus Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok,Tragedi 1965, kerusuhan Mei, Trisakti, dan Semanggi 1 dan 2.
Berkitan dengan komitmen Jokowi, Komnas HAM telah melakukan kordinasi dengan Kejaksaan Agung, TNI, Polri dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) pada April lalu untuk membentuk Tim Ad Hoc
"Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 telah menyatakan bahwa Presiden akan membentuk Tim Ad Hoc untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu," ujar Siti.
Komnas HAM yakin, dengan langkan tersebut, pengungkapan kasus HAM bisa terselesaikan, khususnya kasus hilangnya Thukul. Meski sampai saat ini pembentukan Tim Ad Hoc masih dalam proses perumusan dan menunggu payung hukum.
Disisi lain, secara personal, Siti mengaku sempat mengenal sosok Thukul semasa masih menjadi mahasiswi di salah satu universitas di Yogyakarta. Ia mengungkapkan, Thukul sebagai sosok yang kritis terhadap pemerintah saat itu. Sikapnya tersebut diduga sebagai salah satu indikasi penyebab Thukul hilang dan tidak diketahui keberadaannya sampai saat ini.
"Thukul merupakan seorang aktivis sekaligus seniman yang kritis terhadap pemerintah. Karena gagasan-gagasan dan ide-idenya itu yang kemudian menjadi ancaman bagi dirinya pada periode pemerintahan saat itu," ujar Siti.
(sip)