Menjadi PRT Anak, Pilihan Gegabah Yantri

Abraham Utama | CNN Indonesia
Sabtu, 19 Sep 2015 14:43 WIB
Yantri pergi dari rumah pagi buta, di saat ia mestinya merampungkan ujian kenaikan kelas di SMA. Ia bertekad merantau setelah bertengkar besar dengan sang ayah.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Utami Diah)
Jakarta, CNN Indonesia -- Yantri Yohana Lau terbang dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, menuju Jakarta, pertengahan Juli tahun lalu. Saat itu Yantri masih berusia 18 tahun.

Dua hari sebelumnya, untuk pertama kali dalam hidupnya, Yantri meninggalkan kampung halaman di Desa Muriabang, Kecamatan Pantar Tengah, Kabupaten Alor.

Melalui Pelabuhan Bagang, ia menumpang kapal feri berkarcis Rp70 ribu menuju Kupang. Yantri baru saja menerima tawaran bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Jakarta dari seorang tetangga yang disebutnya 'Bapak Kecil'.  

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi Yantri ketika itu, tawaran pekerjaan tersebut merupakan pelarian dari pertengakaran dia dengan sang ayah yang kerap mabuk dan ringan tangan.

Sebelum mengambil keputusan yang kini disebutnya gegabah itu, Yantri dan ayahnya cekcok hingga sang ayah tak mengakui Yantri sebagai anak kandung lagi.

Maka pagi-pagi buta, Yantri pergi dari rumah di saat ia seharusnya menyelesaikan rangkaian ujian sekolah untuk naik ke kelas XII SMA.

"Bos itu menawari aku gaji Rp1 juta sampai Rp1,5 juta. Uang segitu menurut Bos sudah sangat besar di Jakarta," kata Yantri, bercerita kepada CNN Indonesia.

Setelah enam jam perjalanan dari Pantar Tengah, transit di Alor, lalu tiba di Kupang, Yantri dijemput seorang bos lain yang bernama Edo. Ia dibawa ke rumah Edo yang dikenal sebagai mantan polisi. Di sana, Yantri bersua dengan tiga perempuan muda yang juga hendak merantau ke Jakarta.

Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Yantri dijemput seorang bos lain lagi. Dia dan tiga temannya lantas dibawa ke sebuah asrama yang belakangan ia ketahui berada di kawasan Jakarta Timur.

Di asrama itu, Yantri bertemu dengan ratusan perempuan, mayoritas berasal dari NTT. Yantri dan tiga temannya tak langsung menginap di penampungan calon pekerja rumah tangga (PRT). Mereka diizinkan tinggal di kediaman pasangan suami-istri pemilik agen penyalur PRT.

Yantri sempat mengikuti pelatihan Bahasa Inggris, Malaysia, dan beberapa teknik mengurus anak. Setiap hari, di asrama itu, ia dan ratusan perempuan lain beraktivitas dalam sebuah ruangan besar. Tidur dan makan di tempat itu.

Kronik perantauan Yantri nyaris berujung tragedi. Pada pekan pertamanya di asrama, Yantri tak sengaja membaca tulisan 'untuk tenaga kerja wanita' di dekat kamar mandi asrama.

Anak pertama dari tiga bersaudara itu tak mampu membendung ketakutan. Beberapa calon PRT yang ia tanyai mengaku, mereka dijebak. Ditawari pekerjaan di Jakarta, mereka malah akan dikirim ke Malaysia sebagai TKW.

Khawatir dikirim ke antah-berantah, Yantri dan tiga kawannya mencari cara untuk melarikan diri dari penampungan sementara calon TKW itu. Beruntung, satu di antara mereka berhasil menyembunyikan ponsel dari razia pengurus agen.

Yantri, satu-satunya dari mereka yang memiliki saudara di Jakarta, lalu mengontak abangnya. Setelah hampir sepekan menunggu, sang abang menemukan ciri-ciri penampungan calon TKW yang berada di pinggir jalan besar Jakarta Timur itu.

Sang abang perang mulut dengan penjaga asrama TKW yang berkeras tak akan melepaskan Yantri dan tiga kawannya.

“Saudaraku itu mengaku memiliki keluarga yang bekerja sebagai tentara. Entah bagaimana, mereka akhirnya melepaskan kami,” ucap Yantri.

Bergabung ke Agen “Bersih”

Nasib baik masih mengiringi kehidupan Yantri. Lepas dari agen penyalur TKW nakal, Yantri dan tiga temannya diperkenalkan kerabat Yantri ke yayasan penyalur pengasuh anak di Jakarta Selatan.

Yayasan yang berdiri tahun 1978 itu diinisiasi sebuah lembaga keagamaan. Tak seperti agen penyalur PRT atau pengasuh anak lain, yayasan yang didatangi Yantri tidak didirikan dengan tujuan komersial, melainkan sosial.

Ancilla, pengurus yayasan itu, membenarkan kisah Yantri. “Dia diselamatkan oleh saudaranya ke sini,” ujar Ancilla awal pekan ini.

Berbeda dengan sistem perekrutan pekerja versi Asosiasi Penyalur Pekerja Rumah Tangga Seluruh Indonesia, yayasan yang kini ditempati Yantri tidak mencari calon pekerja secara aktif.

Yayasan tersebut tidak memiliki pekerja lapangan, yakni calo atau mereka yang biasa disebut dengan istilah sponsor. Mereka hanya mau menerima calon pengasuh anak yang mendapatkan rekomendasi dari alumni yayasan atau anggota komunitas agama mereka.

“Ibaratnya, mereka dibawa oleh orang yang kami percaya, biasanya alumni. Bukan soal jaminan, tapi kami tidak dapat langsung memahami karakter seseorang,” tutur Ancilla.

Sebagian besar calon pengasuh anak yang dididik yayasan itu berasal dari daerah yang sama dengan Yantri. Dalam dua bulan, mereka mendapatkan pelbagai pelatihan mengerjakan urusan domestik.

Mereka yang dianggap telah menguasai keterampilan mengasuh anak lalu masuk daftar tunggu. Ancilla berkata, setiap hari yayasannya menerima 20 hingga 30 permintaan tenaga pengasuh anak.

Sejak 2009, jumlah peserta didik di yayasan itu terus berkurang hingga kini tak mencapai 15 orang setiap tahun. Akhirnya yayasan benar-benar menyeleksi calon majikan bagi para siswi mereka.

Jika pengurus yayasan melihat sang calon majikan memiliki kepribadian yang baik dan tak masuk daftar hitam, setelah berbincang-bincang, mereka membebaskan para siswi mereka untuk menyeleksi calon pemberi kerja.

Jika si siswi merasa cocok dengan calon pemberi kerja, yayasan kemudian meminta mereka untuk membuat perjanjian kerja. Ancilla berkata, dokumen tersebut dibuat sebagai pengikat kepercayaan di antara mereka.

Satu bulan setelah lulus pelatihan, tepatnya Oktober 2014, Yantri menemukan rumah barunya. Sekarang, Yantri nyaris satu tahun mengasuh anak pemberi kerjanya.

Kantong Pekerja Domestik

Kampung halaman Yantri merupakan salah satu kantong PRT maupun pengasuh anak di Indonesia. Fakta tersebut disampaikan Ketua APPSI Mashudi, beberapa waktu lalu saat dijumpai di Depok, Jawa Barat.

“Kantong-kantong PRT itu Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung dan NTT. Empat daerah itu yang signifikan mengirimkan calon PRT atau pengasuh anak,” ujarnya.

Ancilla memaparkan, ketika tahun 2002 bergabung dengan yayasan, hampir 90 persen calon pengasuh anak yang ia latih berasal dari Pulau Jawa. Belakangan ketika pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menggagas wajib belajar 12 tahun, presentase tersebut terus turun.

“Sejak pemerintah mewajibkan pendidikan hingga SMA, sedikit orang asal Jawa yang mau bekerja menjadi pengasuh anak. Rata-rata mereka memilih menjadi TKW, SPG (sales promotion girl) atau kerja di pabrik. Akhirnya (pekerjaan mengasuh anak) merambatlah ke NTT,” ucap Ancilla.

Faktor pendidikan dan ekonomi yang rendah, menurut Ancilla, merupakan pemacu perempuan NTT untuk bekerja di sektor informal ini.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor mencatat, pada tahun 2014 sebanyak 89,7 persen warga Kecamatan Pantar Tengah, Kabupaten Alor, bekerja sebagai petani. Sisanya merupakan pegawai negeri, nelayan dan pedagang.

Di kampung halaman Yantri yang terbagi menjadi sepuluh kelurahan itu, tercatat hanya ada tiga sekolah tingkat atas. Pada tahun 2013, BPS setempat mencatat hanya 151 orang saja yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA. Jumlah itu tidak sebanding dengan peserta didik di jenjang sebelumnya, SMP, yang mencapai angka 520 orang.

Bekerja di kota bukanlah sebuah pilihan yang sulit diambil warga Pantar Tengah. Ancilla berkata, pengasuh anak yang lulus dari yayasannya mendapatkan upah sekitar Rp1,5 hingga Rp3,5 juta per bulan, tergantung pengalaman kerja.

Pengeluaran para pekerja domestik itu tak signifikan jatah makan sebanyak tiga kali sehari merupakan salah satu kewajiban majikan yang diatur dalam perjanjian kerja.

“Entah bagaimana caranya, aku harus urus sekolah adik-adikku,” ujar Yantri yang bertekad akan segera pulang kampung. “Aku juga mau sekolah karena mamaku sekarang sudah sendiri, jadi aku harus bantu dia.”

Si anak sulung ini pun kini merancang masa depannya. Kecamatan Pantar Tengah konon akan dimekarkan menjadi kabupaten. Saudara-saudaranya di kampung halaman berkata, selepas lulus SMA Yantri dapat menjadi satu dari 150 pegawai negeri baru di sana.

Kalaupun kabar itu hanya isu belaka, Yantri berkata, ia akan menggunakan pengalamannya selama bekerja di ibu kota. “Aku akan dapat ijazah dari yayasan. Kalau bisa, nanti aku mau bekerja saja di puskesmas di sana,” tutur Yantri.

Yantri hanyalah satu dari puluhan juta anak yang terpaksa menjadi PRT. Sebuah profesi yang menjadi pilihan terakhir sebagian orang untuk bertahan hidup. (abm/rdk)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER