Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi X DPR Dadang Rusdiana mengatakan wisuda bodong merupakan praktik lama yang telah menjadi rahasia umum.
Dadang bahkan menyebut praktik wisuda bodong yang disertai pemberian ijazah tanpa proses itu pada praktiknya melibatkan peran pengawasan dinas pendidikan.
Menurut Dadang, praktik wisuda bodong muncul karena ada dua kepentingan yang bertemu, yakni kebutuhan individu yang menghendaki gelar instan, dan juga kepentingan institut pendidikan yang menjadikannya sebagai ladang bisnis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi ini jelas, mereka hanya ingin mendulang uang, mereka sama sekali tidak berpikir tentang kualitas pendidikan," kata Dadang saat berbincang di Gedung Parlemen, Senin (21/9).
Praktik wisuda tanpa disertai prosedur perkuliahan, kata Dadang, biasanya diikuti oleh mereka yang berprofesi guru atau pejabat yang menghendaki gelar ijazah untuk kebutuhan jenjang karier ataupun prestise semata.
Praktik itu biasanya diikuti oleh mereka yang berdomisili di daerah yang masih memberi kelonggaran terhadap lulusan kampus atau institut akademik dari mana saja.
Politisi senior Partai Hanura itu mengatakan, ada dua kategori penyedia ijazah bodong. Pertama adalah kampus yang memang tidak memiliki izin operasional dan dengan sengaja mengeluarkan ijazah bodong. Kedua adalah universitas yang memiliki izin operasional dan terakreditasi, namun demi kepentingan pasar mereka membuka kelas jauh.
"Praktik ini biasanya melibatkan kerja sama dengan dinas pendidikan setempat. Memang selalu ada oknum di daerah, inilah yang mesti ditertibkan. Kalau misalnya sanksi administrasi, kepala daerah yang harus menertibkan," kata Dadang.
Dadang mengatakan Pasal 42 Ayat 4 UU 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi menyebutkan bahwa yang mmberikan gelar itu adalah oerguruan tinggu yang memiliki kualifikasi khusus.
Sehingga jika hal itu dilanggar dengan cara tidak mengikuti standar pelayanan minimum (SPM), kata Dadang, maka bisa diberikan diberikan hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
"Jadi intinya ada di penegakan hukum. Ketika sebuah perguruan tinggi memberikan gelar tanpa memberikan proses yang benar, Kemenristekdikti harus bertindak tegas," kata Dadang.
(meg)