Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat Didik Murdianto mengakui bahwa kinerja parlemen sempat terhambat di awal periode kepengurusan. Hal ini disebabkan konsolidasi internal parlemen berjalan terlambat.
"Kalau secara jujur, memang di awal-awal itu juga banyak kinerja-kinerja yang belum bisa kami agendakan," kata Didik di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (1/10).
Sehingga, Anggota Komisi III tersebut menuturkan konsolidasi yang telat itu menyebabkan penentuan komisi-komisi dan penentuan mitra kerja menjadi agak terlambat.
Meski ia tidak menyebutkan penyebabnya, seperti yang diketahui pada awal periode kepengurusan anggota dewan 2014-2019, sempat terjadi perebutan alat kelengkapan dewan (AKD) antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Didik juga menjelaskan tiga fungsi parlemen, yakni legislasi, penganggaran dan pengawasan, tidak dapat dilepaskan dengan pemerintah.
Ia mencontohkan, rancangan undang-undang yang menjadi inisiatif pemerintah, tidak dapat dibahas jika naskah akademik atau nasakah RUU belum disodorkan ke parlemen.
"Ketika RUU yang jadi inisiatif pemerintah, maka menyusun naskah akademis jadi kewajiban pemerintah. DPR tidak akan mulai pembahasan kalau tidak ada naskah," ujar Didik.
Didik beralasan, minimnya hasil produk legislasi parlemen karena tidak ingin kuantitas, mengurangi kualitas undang-undang yang dihasilkan.
DPR dan pemerintah telah menyepakati Program Legislasi Nasional Tahun 2015-2019 membahas sebaganyak 160 Rancangan Undang-Undang.
Keputusan yang ditetapkan dalam Rapat Paripurna 6 Februari 2015 itu menetapkan 39 RUU diantaranya menjadi Prioritas Prolegnas 2015.
Sedangkan untuk penganggaran Didik menyebutkan, parlemen dapat memenuhi target dengan menyetujui RAPBN Perubahan 2015 tepat waktu. Sebab menurutnya, jika terlambat maka pengelolaan negara dapat terhambat pula.
"Pada RAPBNP 2015 kami sudah beri persetujuan tepat waktu. Sehingga, jalannya pemerintah tidak terkendala," kata Didik.
Sedangkan, penilaian berbeda diberikan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang memberikan rapor merah atas kinerja para legislator khususnya dalam penggunaan anggaran.
Ada tujuh poin dan satu rekomendasi yang menjadi sorotan FITRA ihwal kinerja bujeting anggota dewan. Diantaranya adalah DPR dinilai tidak menggunakan kewenangan anggaran dengan landasan memperjuangkan kepentingan rakyat dalam APBN-P 2015. “Akibatnya terjadi ketimpangan kesejahteraan antara kelompok menengan ke atas dan rakyat jelata,” kata Manajer Advokasi FITRA, Apung Widadi, Rabu (1/10).
(utd)