Jakarta, CNN Indonesia -- Amnesty International, organisasi internasional yang aktif menyerukan soal hak asasi manusia (HAM), meminta agar Pemerintah Indonesia menghentikan pembungkaman diskusi publik terkait pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 1965.
"Amnesty International prihatin atas upaya yang terus dilakukan Pemerintah Indonesia untuk membungkam diskusi publik dan membubarkan acara yang terkait dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi 50 tahun yang lalu," ujar Wakil Direktur Kampanye Kantor Wilayah Asia Tenggara dan Pasifik, Josef Roy Benedict, melalui pernyataan yang diterima CNN Indonesia, kemarin.
Josef lantas memberikan contoh peristiwa pembungkaman yang terjadi baru-baru ini dalam acara festival sastra internasional di Bali. Menurut dia, tindakan ini menjadi pertanda jelas bahwa hak dari kebebasan berekspresi dan berkumpul harus segera diakhiri.
Benedict menjelaskan, militer Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto meluncurkan serangan terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan yang diduga simpatisan. Selama dua tahun berikutnya, dilaporkan bahwa sekitar 500 ribu hingga sejuta orang tewas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebuah investigasi yang dilakukan oleh Komisi Nasional HAM Indonesia juga mendapati bahwa telah terjadi pelanggaran HAM lain, termasuk penyiksaan, penghilangan paksa, pemerkosaan, perbudakan seksual, dan kejahatan kekerasan seksual lainnya.
"Ratusan ribu orang dipenjarakan tanpa pengadilan, banyak pula yang menghabiskan bertahun-tahun di penjara. Korban masih terus menghadapi diskriminasi," kata dia.
Josef mengatakan meski Indonesia telah dianggap memiliki peningkatan dalam ruang kebebasan berbicara dan berekspresi setelah jatuhnya rezim Soeharto pada 1998, kultur pembungkaman telah mendominasi diskusi soal pelanggaran HAM massal 1965.
Josef menyebut pola penekanan yang sama berlanjut pekan lalu saat Pemerintah Indonesia mengancam akan mencabut izin acara Ubud Writers and Readers Festival, yang telah diakui dunia internasional, jika masih ada acara menyangkut pelanggaran HAM massal 1965 masih tetap berlanjut.
"Hal ini memaksa penyelenggara untuk membatalkan tiga sesi panel yang didedikasikan untuk para korban pelanggaran HAM 1965, di antaranya pemutaran film Look of Silence karya Joshua Oppenheimer dan pameran seni serta peluncuran buku the Act of Living. Ini pertama kalinya dalam sejarah 12 tahun festival bahwa pemerintah telah mengganggu jalannya festival," kata dia.
Tindakan pembungkaman ini, papar Josef, belum termasuk yang terjadi pada awal Oktober di mana polisi di Kota Salatiga, Jawa Tengah menyita dan membakar ratusan kopi majalah Lentera yang dikerjakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi, Universitas Satya Wacana karena menampilkan soal pelanggaran HAM tahun 1965 dalam sebuah laporan mendalam dan menyajikan sampul depan majalah untuk memperingati 50 tahun peristiwa tersebut.
Pada 15 Oktober, seseorang yang berhasil menyelamatkan diri dari pembunuhan massal tahun 1965 yang sekarang menjadi warga negara Swedia, telah dideportasi dari Indonesia setelah diinterogasi oleh polisi selama hampir 12 jam. Ia dilaporkan telah masuk daftar hitam, sehingga tidak bisa kembali ke Indonesia, setelah mencoba untuk mengunjungi makam ayahnya yang telah dibunuh pada saat itu di Sumatra Barat.
Pertemuan pribadi atau acara-acara publik yang diselenggarakan oleh para korban pelanggaran HAM tahun 1965 juga seringkali dibubarkan oleh pemerintah atau dirusak oleh kelompok yang main hakim sendiri. Polisi pun tak bertindak apapun untuk mencegah adanya pelecehan pada saat itu.
Josef berpandangan, korban dan orang-orang yang berhasil selamat dalam peristiwa pelanggaran HAM berat memiliki hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi dalam mendiskusikan masa lalu.
Dengan tidak adanya tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah dalam menegakkan kebenaran, Amnesty International percaya bahwa acara-acara dan diskusi publik tentang kekerasan tahun 1965 seperti Ubud Writers and Readers Festival mampu memainkan peran penting dalam menyediakan ruang tersebut.
Acara-acara seperti ini, ucap Josef, mampu membantu para korban dan keluarganya untuk memahami apa yang terjadi pada mereka, melawan informasi yang salah dan menyoroti faktor-faktor yang mengarah ke pelanggaran, misalnya diskriminasi. Ruang seperti itu, memungkinkan masyarakat untuk memahami mengapa pelanggaran dilakukan sehingga tak akan terulang di masa depan.
Josef bercerita, pada Oktober 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai berkantor di Istana Kepresidenan dan berkomitmen untuk menghormati dan melindungi HAM di Indonesia, termasuk menangani pelanggaran HAM masa lalu. Pada Mei 2015, pemerintah mengumumkan mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa 1965. Para korban dan aktivis LSM prihatin bahwa proses ini akan memprioritaskan rekonsiliasi dan merusak kebenaran serta keadilan.
Amnesty International, ujar Josef, yakin bahwa sudah saatnya pemerintahan Jokowi menghadapi masa lalu dan mengambil langkah-langkah jangka lama yang tertunda yang diperlukan untuk menyediakan korban peristiwa 1965 kebenaran, keadilan, dan reparasi penuh.
"Presiden Jokowi harus membuat panggilan publik untuk mengakhiri segala bentuk pembatasan terhadap diskusi publik tentang peristiwa 1965 dan memastikan bahwa pemerintah mulai mendengarkan para korban dan lainnya, alih-alih menekan suara mereka," ujar Josef.
(utd)