Perumusan PP Pengupahan Dinilai Tidak Transparan

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Selasa, 03 Nov 2015 17:45 WIB
Pengacara LBH Jakarta Pratiwi menilai, proses pembuatan PP tersebut tidak partisipatif dan tertutup bagi aspirasi masyarakat.
Unjuk rasa buruh. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Jakarta, CNN Indonesia -- Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 menimbulkan pro dan kontra di kalangan pekerja. Perumusan kebijakan pengupahan itu dinilai tidak melibatkan publik atau para pihak yang terdampak dari berlakunya peraturan tersebut.

Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI Lilis Mulyani menilai pengambilan kebijakan cenderung abai dalam melibatkan tripartit nasional —buruh, pengusaha, dan pemerintah— dalam penyusunan, perumusan, hingga pengesahannya.

PP Pengupahan yang disahkan pada 23 Oktober 2015 itu tidak dibentuk secara partisipatif, dialogis, dan transparan. Menurutnya, seharusnya pemerintah menerapkan asas keterbukaan dalam penetapan PP tersebut.
Dia menyatakan, kebijakan dalam banyak kasus adalah hasil bargaining atau kompromi antara kepercayaan, aspirasi, tujuan yang saling beririsan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Atas hal itu, Kelompok Kajian Ketenagakerjaan mengusulkan kepada pemerintah untuk membenahi proses penetapan kebijakan pengupahan agar memenuhi asas keterbukaan. Hal itu untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan mewujudkan kesempatan kerja yang layak serta produktif.

"Pentingnya penciptaan kesempatan kerja yang layak dan produktif semakin mendesak dengan adanya realitas ledakan penduduk usia produktif," katanya saat diskusi publik di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (3/11).
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Pratiwi Febry menilai, proses pembuatan PP tersebut tidak partisipatif dan tertutup bagi aspirasi masyarakat.

"Prosesnya sangat tertutup, enggak cuma oleh buruh dan pengusaha tapi juga oleh masyarakat lain. Kita enggak punya draf dan naskah, tiba-tiba sudah disahkan," kata Pratiwi.

Dia menyoroti soal pidana pengupahan yang dihilangkan dalam kebijakan tersebut. Poin pidana pengupahan, kata Pratiwi, diganti dengan sanksi administrasi. Hal ini akan mengubah sebuah pelanggaran kejahatan menjadi pelanggaran biasa yang sifatnya administrasi semata.

"Buat kami ini justru lepas tangan negara dari sebuah kejahatan yang justru semakin marak terjadi, kejahatan korporasi terhadap upah buruh yang masal ini mau digeser ke sanksi administrasi dan dihilangkan bobot pelanggarannya," ujarnya.

Peneliti Bidang Ketenagakerjaan Pusat Penelitian dan Kependudukan LIPI Triyono mengatakan, penetapan PP ini juga bertujuan untuk menghindari huru hara setiap tahun ketika penetapan upah minimum provinsi diberlakukan.
Dia berpendapat, hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika serikat buruh mempercayakan kepada wakil mereka yang duduk di dewan pengupahan untuk berunding menetapkan upah.

Selama ini, menurut Triyono, yang terjadi adalah perundingan di bawah intimidasi demonstrasi. Akibatnya penetapan upah kadang tidak dilakukan berdasarkan hasil kajian atau survei yang telah dilakukan.

Sementara peneliti Pusat Analisis Sosial AK3, Indrasari Tjandraningsih mengatakan, peran dewan pengupahan untuk mengusulkan upah minimum menjadi hilang dalam PP Pengupahan.

"Kalau fungsi itu dicabut berarti harus revisi Keppres. Masih banyak hal dalam PP itu yang berimplikasi terhadap regulasi lainnya," kata Indrasari.

Namun pada dasarnya, tugas dewan pengupahan tidak hanya merekomendasi upah minimum. Dalam Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan, fungsi dewan pengupahan justru memberikan input bagi penyusunan kebijakan pengupahan.

"Selama ini fungsi itu agak terabaikan karena sibuk untuk merumuskan upah minimum," ujar Indrasari (bag)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER