Pokja Revolusi Mental, Telat Dibentuk dan Kontroversial

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Minggu, 08 Nov 2015 15:51 WIB
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dinilai setengah hati dalam menjalankan program Revolusi Mental.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani (tengah) didampingi Sekretaris Menko PMK Sugihartatmo (kanan) dan Deputi bidang Koordinasi Kebudayaan Hazwan Yunaz (kiri) meluncurkan situs Gerakan Nasional Revolusi Mental di Jakarta, Senin (24/8). (Antara Foto/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) membentuk Kelompok Kerja Gerakan Nasional Revolusi Mental (Pokja GNRM) yang beranggotakan para pakar dan pejabat negara.

Pokja GNRM yang beranggotakan sekitar 20 orang ini diketua oleh Politisi PDI Perjuangan yang juga menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan, Arif Budimanta. Beberapa anggotanya antara lain Mukhlis Yusuf,  Prof Hamdi Muluk, Prof Sarlito Wiryawan, Budiarto Sambazy, Yudi Latief, Slamet Rahardjo, Rosiana Silalahi, dan Mohammad Sobary.

"Pokja ini dibentuk berdasarkan SK (Surat Keputusan) Menteri PMK yang tugasnya merumuskan landasan filosofi Revolusi Mental. Sekitar 20 orang anggotanya. Pokja ini sudah membuat buku pedoman dan peta jalan atau roadmap sampai 2019," ujar Haswan Yunaz, Deputi Menko PMK Bidang Koordinasi Kebudayaan kepada CNN Indonesia, Minggu (8/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Haswan, para pakar dalam Pokja ini bekerja selama dibutuhkan. Artinya, tidak ada ikatan yang jelas dari setiap anggotanya maupun status dari pada Pokja itu sendiri.

"Berdasarkan komitmen saja. Rata-rata para pakar itu komit kalau diundang rapat," katanya.

Soal anggaran, Haswan mengatakan tidak ada alokasi dana khusus untuk operasional Pokja GNRM. Namun, setiap anggota yang hadir ketika diundang rapat mendapatkan honorarium.
 
SK Kontroversial

Hamdi Muluk kepada CNN Indonesia mengatakan sampai saat ini belum menerima SK resmi yang menyatakan dirinya masuk dalam Pokja GNRM. Dia mengaku hanya menerima pindaian SK yang dikirimkan via surel, tetapi validitasnya dipertanyakan karena fisik surat bertandatangan Menteri PMK Puan Maharani belum diterimanya.

"Namun karena kecintaan saya terhadap bangsa ini dan menurut saya Revolusi Mental konsep yang bagus, maka saya hadir setiap diundang rapat," katanya.

Dalam pindaian SK tersebut, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) itu mengungkapkan, tertulis sederet nama tokoh dan pakar yang didaulat menjadi anggota Pokja. Namun, komitmen dari setiap anggota  Pokja dipertanyakan karena tidak semua hadir dalam rapat-rapat yang digelar Pokja.

"Bahkan ada yang tidak pernah hadir seperti Slamet Rahardjo dan Rosiana Silalahi. Mohammad Sobary datang sekali, tapi namanya disebut-sebut terus setiap rapat," kata Hamdi Muluk.

"Pertanyaannya apakah mereka tidak komit atau memang sejak awal mereka tidak mau gabung. Kalau begitu seharusnya nama-nama itu tidak perlu disebut terus di daftar hadir rapat," lanjutnya menegaskan.

Ironisnya, kata Hamdi Muluk, Kemenko PMK kerap mengaku tidak punya anggaran khusus untuk mendanai kerja Pokja ini. Di sisi lain, lanjutnya, Kementerian ini menganggarkan dana yang cukup besar untuk belanja iklan di pelbagai media.

"Ironisnya mereka bilang tidak ada anggaran untuk Pokja. Memang saya tidak peduli bayaran, saya datang karena kecintaan sama negeri ini, tapi profesional saja," katanya.

Program Telat

Sebenarnya, Hamdi Muluk mengaku senang dengan gagasan Revolusi Mental yang dikemukakan Joko Widodo ketika kampanye pemilihan presiden. Namun, hampir setahun sejak terpilih gaungnya hilang dan tidak jelas implementasinya.

"Tiba-tiba saja Juni-Juli kami dipanggil dibentuk Pokja, telat karena jadinya gedabrak-gedubruk jelang akhir tahun. Sekarang ini kami jadi terkesan buru-buru, kejar-kejaran dengan waktu," tuturnya.

Menurutnya, Pokja harus merumuskan ulang gagasan Revolusi Mental, sedangkan waktu untuk sosialisasi tinggal sedikit. Untuk itu, Hamdi Muluk menyarankan agar Presiden Jokowi turun langsung mengawal program ini dengan mencanangkan kembali GNRM agar efeknya lebih besar dan terasa.

"Ibarat orchestra semua orang harus jalankan ini dengan terkonsentrasi. Presiden adalah dirigen-nya dan dia harus ayunkan lagi tongkatnya. Tapi sayang presiden belum ngomong apa-apa lagi," tuturnya.

Di sisi lain, lanjut Hamdi, peran Puan Maharani selaku Menko PMK tidak terlalu dominan. "Kesannya Kemenko PMK ini setengah hati," tuturnya. (ags)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER