LIPUTAN KHUSUS

Cerita Filep Karma dari Balik Jeruji Abepura

Giras Pasopati | CNN Indonesia
Kamis, 19 Nov 2015 09:35 WIB
Namanya Filep Jacob Semuel Karma. Ia tahanan politik Papua Merdeka yang bebas hari ini. Ikuti liputan khusus CNN Indonesia tentangnya.
Filep Karma di depan pintu masuk Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Abepura, Jayapura, Papua. (CNN Indonesia/Giras Pasopati)
Jayapura, CNN Indonesia -- “I can’t get no statisfaction... I can’t get no statisfaction,” senandung seorang lelaki berjanggut tebal dari tembok penjara Abepura, akhir Agustus lalu. Senyumnya tiba-tiba merekah ramah saat ia melafalkan satu kalimat syair dari tembang ternama band legenda asal Inggris, Rolling Stones.    

“Kalau musik, Rolling Stones oke. Saya senang Mick Jagger dan Rolling Stones. Saya jadi ingat teman saya Jongki Sitompul yang sudah almarhum,” ujar Filep Jacob Semuel Karma kepada CNN Indonesia.

Ya, lelaki itu bernama Filep Jacob Semuel Karma. Seorang pegawai negeri sipil yang pada 1 Desember 2004 turut dalam sebuah upacara yang mengibarkan bendera Bintang Kejora --bendera lambang perjuangan Papua Merdeka-- di ibu kota Papua, Jayapura.
Lantaran sikapnya itu, Filep yang tak pernah lepas berpakaian khas pegawai negeri meski dari balik jeruji, dipaksa menerima hukuman 15 tahun dari Mahkamah di Abepura.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aktivitas Filep dan Bintang Kejora sebenarnya memang bukan yang pertama. Pada 2 Juli 1998, tahanan politik Papua Merdeka itu tercatat pernah memimpin upacara pengibaran sang Bintang Kejora di Biak --tempat kelahirannya.
Kembali ke soal Rolling Stone, kepada CNN Indonesia Filep bercerita bagaimana ia bisa begitu dekat dengan band asal negeri Ratu Elizabeth itu. Namun kali ini mimik mukanya dipasang sangat serius. Ia mengaku sadar akan  persoalan rasialisme dari nama band tersebut. Tiba-tiba saja pandangan Filep tajam, terlempar jauh ke masa lalu.

“Ketika kuliah di Solo, kenangannya adalah perlakuan rasialis yang saya terima,” katanya. Dan itu mengingatkan Filep akan akar nama dari band Rolling Stones yang berasal dari judul lagu seorang musisi blues kulit hitam yang pernah mengalami masa rasialisme di Amerika.

Filep mengaku saat bersekolah di Jawa --begitu kebanyakan orang Papua mengistilahkan, beberapa kali ia mendapat perlakuan rasialis ketika kuliah di jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Solo. Hal itu membuat pandangan Filep akan nasionalisme Indonesia kian kelam.

“Salah seorang anak dari trah Raja Solo pernah omong ke saya di depan teman-teman lain, ‘Wah kok kamu hitam sekali sih. Hitam, keriting.’ Akhirnya itu menjadi bahan tertawaan,” ujar Filep. “Dua kali saya diperlakukan gitu, akhirnya saya memutuskan harus melawan hingga akhirnya tak pernah lagi melecehkan saya.”

Kali lain, lanjut Filep, ada lagi kenangan yang cukup menyakitkan dirinya. “Pernah saya disuruh ikut upacara 17 Agustus-an. Saat itu saya sudah siapkan pakaian rapi sampai dasi. Saya tanya sama teman saya, kalian tidak ikut upacara bendera? Tapi mereka bilang, ‘Ya kalian itu, orang Irian yang baru merdeka, itu yang perlu ikut upacara.’ Hati saya sakit.”

Persoalan rasialisme memang tak jarang menimpa masyarakat asal Papua. Bahkan, mungkin itu layaknya cacat bawaan dalam hubungan sosial Indonesia selama ini. Pada 13 September 2007, Pendeta Corinus Berotabui, Pimpinan Gereja Evangelis Papua menuliskan laporan berjudul Diskriminasi Rasial di Papua. Sub-judul dari laporan itu cukup menohok lantaran mengutip ucapan Letnan Jenderal (Purn.) Ali Moertopo yang berbunyi, “Jakarta tidak tertarik dengan orang Papua, yang membuat Jakarta tertarik adalah tanah dan sumber daya alamnya.”
Pada tahun 2003, sekitar 2,35 juta orang tinggal di wilayah Papua, dengan 1,46 juta orang (66 persen) berasal dari Papua. Sementara penduduk lainnya berasal dari Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi dan daerah lain di Indonesia.

“Banyak dari mereka telah tiba di Papua melalui program transmigrasi yang disponsori pemerintah dengan tujuan merelokasi orang dalam suatu negara,” tulisnya mengutip pernyataan United Nations Development Programme (UNDP).

UNDP memberi catatan khusus terkait program transmigrasi tersebut. Program  ini dianggap dikombinasikan dengan migrasi independen yang mengakibatkan pergeseran penduduk di daerah perkotaan Papua, di mana penduduk lokal telah menjadi minoritas. Jumlah masyarakat lokal menduduki peringkat tiga dari total populasi di perkotaan.

Corinus menyatakan budaya Indonesia Melayu dan budaya orang Papua Melanesia berbeda dan bias rasial sering terjadi. Sayangnya, tidak hanya bias, kekerasan yang bersifat rasial juga menimpa orang Papua.

Hingga kini, Filep masih menyimpan rasa sakit akibat perlakuan rasial yang menimpa dirinya dan orang-orang asli Papua. Filep mengaku sulit memahami pemikiran orang-orang yang bersikap rasial.

"Saya bingung, tidak paham. Saya hitam dan keriting sudah dari sananya. Sudah ciptaan Tuhan."

Hari ini, status Filep dinyatakan bebas lantaran menerima remisi dasawarsa dari pemerintah. Ia sempat menolak grasi yang diberikan Presiden Joko Widodo sebab ia merasa tak pernah bersalah, sedangkan ia menilai pemberian keringanan dan ampunan tersebut hanya untuk tahanan kriminal dan orang yang bersalah.
(gir/sip)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER