Jakarta, CNN Indonesia -- Nama Abu Tholut tak dapat dibantah mempunyai peran besar dalam perkembangan kelompok teror di Indonesia. Bagaimana tidak, sosok kaki tangan Abu Bakar Ba'asyir di kelompok Jamaah Ansharut Tauhid ini dapat dibilang sebagai salah satu orang yang membidani lahirnya kelompok jihad di Poso, Sulawesi Tengah, yang dikomandani oleh Santoso.
Memang, kelompok teroris di Poso sendiri bukanlah kelompok sel jihad mandiri yang tidak berjaringan atau tidak berhubungan dengan jamaah jihad lainnya.
MIT atau Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpin Santoso dan menjadi kelompok yang paling aktif melakukan aksi terorisme hingga kini, lahir dari gabungan beberapa sel-sel kecil kelompok teror yang sudah besar.
Kelompok MIT diketahui sebagai pendukung utama kelompok JAT atau Jamaaah Ansharut Tauhid (JAT) Poso serta kelompok Darul Islam (DI) Sulawesi Selatan pimpinan Abu Autad Rawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam buku
Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia yang ditulis oleh mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai diungkap bahwa dijadikannya Poso sebagai pusat latihan baru kelompok teroris merupakan imbas dari kegagalan para kelompok radikal membangun pelatihan di Aceh.
JAT Poso dan DI Sulawesi Selatan menjadi dua kelompok yang lahir dari gagalnya Lintas Tanzim Aceh membangun sarang mereka di bumi Nanggroe pada 2010. Kala itu, polisi berhasil melakukan operasi penyergapan pusat latihan teroris di Aceh.
Sedangkan untuk MIT pimpinan Santoso, Ansyaad menyebutnya sebagai kelompok jihad fardiyah atau sel jihad yang meranggas pasca-terbunuh dan tertangkapnya para tokoh Lintas Tanzim Aceh.
Santoso diketahui sempat beberapa kali berdiskusi dengan Abu Tholut, seorang pengurus JAT, sebelum akhirnya menghidupkan kembali kelompok jihad di Poso.
Abu Tholut, yang diketahui sempat menjadi kaki tangan Amir JAT Abu Bakar Ba'asyir, sempat membicarakan gagasan menghidupkan cita-cita negara Islam di Poso, saat dia mendatangi kota itu untuk berdakwah jelang akhir 2009.
Kala itu Abu Tholut pun bukan sosok baru yang masuk ke Poso. Beberapa tahun sebelumnya, dia pernah merancang proyek Uhud yang ingin menjadikan Poso sebagai wilayah
qoidah aminah atau daerah basis cikal bakal negara Islam. Hanya saja percobaan ini gagal setelah Polri menggelar operasi terhadap pelaku tindak pidana teroris di Poso, pascaperjanjian Malino.
Pada pertemuan tahun 2009, Abu Tholut bersama Santoso dan Ustaz Yasin bersepakat membentuk
qoidah aminah di Poso dengan membuat pelatihan militer. Pelatihan ini rencananya menjadi tempat untuk mencetak kader-kader asykari yang bakal memperjuangkan keberlangsungan negara Islam di Poso.
Tak hanya itu, Abu Tholut juga mengusulkan kepada Santoso untuk segera membentuk JAT di Poso serta meminta Santoso menjadi Ketua Asykari JAT Poso, dan Ustaz Yasin sebagai Amir JAT Poso. Inilah yang kemudian disebut sebagai tanzim jihad Poso atau cikal bakal pemerintahan Islam di sana.
Santoso, yang mendapat mandat dari Abu Tholut, kemudian mulai mengumpulkan senjata dan mencari tempat pelatihan militer. Pada 2010, kelompok ini berhasil membeli beberapa pucuk senjata dan menemukan tempat pelatihan di daerah Hunung Mauro, Tambaran, Poso Pesisir, dan di daerah Gunung Biru, Tamanjeka, Kabupaten Morowali.
November 2010, Muhammad Achwan yang menggantikan Ba'asyir di kursi Amir JAT mendatangi Poso. Kala itu dia menggunakan sesi taklim di Masjid Al Muhajirin, Kelurahan Kayamanya, sebagai tempat mensosialisasikan JAT. Dihadiri sekitar 150 orang, pertemuan itu ternyata berhasil merekrut warga setempat untuk bergabung dengan JAT Poso.
Tiga bulan berselang, calon anggota JAT Poso sudah mencapai sekitar 50 orang. Pada Januari 2011 itulah Santoso dan Ustaz Yasin menyusun kepengurusan sementara. Keduanya duduk di kursi teratas JAT wilayah Poso, sesuai permintaan Abu Tholut.
Sebagai Ketua Asykari JAT Poso, Santoso bertanggung jawab atas pelatihan militer yang digelar di sana. Tak hanya beranggotakan anggota JAT Poso, para pelarian dari Aceh juga saat itu bergabung. Pelatihan pun berlangsung selama tiga kali dalam kurun Februari hingga Mei 2011.
Duduk di kursi komandan, Santoso berpikir keras untuk memenuhi kebutuhan persenjataan kelompoknya. Demi memenuhi kebutuhan itu, Santoso kemudian mengerahkan orang-orangnya untuk mencari senjata. Cara utama yang mereka lakukan adalah dengan melakukan perampasan dari polisi.
Tak tanggung-tanggung, Santoso memerintahkan anggotanya untuk merampas sekaligus membunuh polisi. Hal itu, menurutnya, dilakukan sebagai aksi balas dendam atas penangkapan dan penembakan polisi terhadap teman-temannya di Aceh.
Operasi perampasan senjata dimulai dengan menggelar survei pada Mei 2011. Santoso dan kawan-kawan ketika itu menyusuri informasi tentang senjata-senjata yang dimiliki polisi di Poso hingga ke Palu. Akhirnya operasi pertama pun digelar pada 25 Mei 2011.
Perampasan yang dilakukan kepada tiga petugas yang sedang berjaga di Bank Central Asia Palu itu ternyata langsung ditanggapi Polri dengan cepat. Dalam hitungan jam, anak buah Santoso yang bernama Aryanto Haluta alias Jafar dan Rafli alias Furqon berhasil dicokok.
Berselang beberapa hari, tepatnya pada 5 Juni 2011, polisi menembak mati anak buah Santoso, yakni dua orang yang juga terlibat dalam aksi perampasan senjata terhadap polisi. Dari sana, Polri pun mulai mencomot satu persatu anak buah Santoso.
Bahkan, orang-orang dekat Santoso seperti Papa Enal yang diketahui sebagai Wakil Ketua Asykari JAT Poso, juga ditangkap polisi. Begitu pun nasib beberapa buronan Aceh yang terlibat dalam persiapan pelatihan militer di Poso.
Hal itu akhirnya membuat Santoso dan kawan-kawan harus menunda rencana pelatihan militer lanjutan. Konsolidasi kemudian dilakukan olehnya. Tak hanya ingin menggandeng orang-orang di dalam Poso, dia menargetkan orang-orang di luar Poso.
Abu Autad alias Sabar alias Daeng Koro dari Makassar kemudian menjadi nama salah satu yang digandeng oleh Santoso. Nahas, perjalanan Daeng Koro tak panjang. Sekitar empat tahun berselang, tepatnya 3 April 2015, dia tewas dalam baku tembak di Pegunungan Sakina Jaya, Parigi Mautong, Sulawesi Tengah.
Tak hanya dari kota lain di Sulawesi, perekrutan Santoso ternyata juga dilakukan hingga ke Solo. Lewat salah satu temannya yang bernama Imron, Santoso pun terhubung dengan kelompok Badri Hartono, bekas anak buah Noordin M Top, teroris kelahiran Malaysia yang terlibat bom Bali dan tewas dalam penggerebekan di Surakarta pada 17 September 2009.
Sementara Imron merupakan karib Santoso yang pernah bersekolah di Pondok Pesantren Darusy Syahadah, Boyolali, Jawa Tengah.
(pit/agk)