BNPT Libatkan Mantan Teroris Cegah Paham Radikal

Rosmiyati Dewi Kandi | CNN Indonesia
Sabtu, 12 Des 2015 19:22 WIB
Salah satu cara untuk mencegah paham radikal berkembang di Indonesia adalah dengan mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat.
Pasukan Brimob melakukan penyergapan terhadap terorisme saat latihan bersama BNPT, Polri, dan TNI untuk penanggulangan terorisme di Mako Yonif 700/Raider, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (18/3). (ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melibatkan mantan teroris untuk mencegah perkembangan paham radikalisme di Indonesia. Kepala BNPT Komisaris Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan, langkah tersebut bersifat persuasif agar para mantan teroris itu tidak memberikan pengaruh buruk kepada masyarakat.

“Kami datangkan mantan teroris dan ada kegiatan rehabilitasi,” kata Saud Usman dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Antisipasi Konflik SARA dan Bahaya Terorisme di Ibukota Negara, seperti dikutip dari detikcom, Sabtu (12/12).

Kegiatan rehabilitasi dimaksud, kata Saud, adalah dengan mengubah pola pikir radikalisme atau pun jihad. Pakar dan ulama juga dilibatkan dalam menanggulangi teror, terutama untuk pendekatan sesuai dengan keahlian masing-masing pihak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ciri ciri teroris, dia cenderung eksklusif. Cenderung mengkafirkan orang lain. Nah ini perlu dilakukan pendekatan. Polri dibantu TNI, ada juga pendekatan kultur dan budaya," ucap Saud.

Menurut Saud, BNPT juga mencari solusi bagi para mantan teroris untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Untuk itu dilakukan kegiatan resosialisasi dan pekerjaan pelatihan ketika masih di dalam lembaga pemasyarakatan (LP) agar begitu bebas dapat dengan mudah membaur bersama masyarakat lainnya.

“Kami diskusi, kami mencari solusinya. Terutama pekerjaan. Bagaimana cari solusi agar mereka ada pekerjaan. Kalau dibiarkan, mereka bakal ada masalah terus," tutur Saud.

Saud menyebut, langkah resosialisasi dan bantuan mencari pekerjaan merupakan salah satu solusi penting bagi para mantan teroris. Hal ini karena, simpatisan kelompok radikal adalah yang paling besar berpotensi menjadi teroris.

Apalagi di Indonesia, lanjut Saud, akar aksi troris mayoritas terjadi karena masalah sosial. Termasuk yang terjadi pada kelompok Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. “Kebencian, dendam, kemiskinan, kesenjangan sosial, kebijakan yang tidak mendukung mereka. Ini masalahnya. Ini harus bersinergi,” tutur Saud.

Ketua DPD Irman Gusman yang membuka Rakor tersebut mengatakan, koordinasi para pemangku kepentingan di Jakarta sangat dibutuhkan mengingat ibukota merupakan barometer seluruh wilayah di Indonesia.

"Kami dengan Pemda DKI mengintensifkan komunikasi supaya keamanan dikelola dengan baik dan mengidentifikasi potensi teror di masa depan," ujar Irman. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER