Jakarta, CNN Indonesia -- Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur masih menjadi dua provinsi yang memiliki kasus perdagangan anak terbanyak sepanjang tahun 2015 ini. Buruh migran dan eksploitasi seksual menjadi dua modus utama pidana perdagangan anak dua wilayah di Indonesia tersebut.
Dewi Astuti selaku
Advocacy Officer dari jaringan Indonesia ACT, sebuah payung dari 15 organisasi non pemerintah bergerak di bidang anti perdagangan anak, mengatakan kasus perdagangan anak di NTB dan NTT melibatkan anak-anak dari usia 11 tahun hingga 18 tahun.
"Kita tahu kalau NTT salah satu wilayah provinsi pengirim terbesar bukan hanya buruh migran tetapi juga
trafficking. Sementara di NTB kami banyak temukan kasus penjualan anak untuk eksploitasi seksual," kata Dewi saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (14/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data kasus yang ditangani Indonesia ACT, sepanjang 2015 terdapat 107 kasus perdagangan anak di sepuluh provinsi di Indonesia, di antaranya di Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Dari data tersebut, lima puluh persen kasus terdapat di NTB dan NTT.
Dewi mencontohkan salah satu dari tujuh kasus di NTT melibatkan perdagangan anak berusia 11 hingga 12 tahun. Tindak kriminalitas tersebut dimulai dari agen penyalur buruh migran ilegal yang menyalurkan pekerja anak ilegal tersebut ke beberapa wilayah seperti Malaysia, Taiwan, dan Hongkong.
Dewi mengatakan tingginya angka korban perdagangan anak di kedua wilayah tersebut adalah karena rendahnya pendidikan serta tingginya iming-iming bayaran saat disalurkan menjadi pekerja.
"Biaya untuk kasus eksploitasi seksual bisa Rp 10 hingga Rp 20 juta per anak tergantung kualitasnya. Uang ini akan dibayar di muka ke keluarga si anak yang membuat keluarga langsung mengiyakan," kata Dewi menjelaskan.
Awal mulanya, anak akan dijanjikan bekerja di restoran atau perusahaan, kemudian setibanya di tempat yang dituju, Dewi mengatakan anak-anak tersebut akan dilacurkan.
Selain agen, Dewi mengatakan keluarga terdekat juga bisa menjadi oknum pelaku perdagangan anak.
"Dalam beberapa kasus yang kami temukan di NTT, ada anggota keluarga yang membawa si anak dengan mendatangi agen-agen ilegal," ujar Dewi.
Sementara itu, Lembaga Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK) menyebutkan pola-pola tindak kejahatan perdagangan anak berubah saat ini. Jika dahulu, kemiskinan, keterbelakangan pendidikan dan kawin muda menjadi pintu masuk perdagangan anak, kini adalah teknologi.
Direktur Eksekutif JARAK Achmad Marzuki mengatakan tren teknologi seperti penggunaan media sosial ikut menunjang perilaku konsumtif yang kemudian berkontribusi terhadap kejadian anak menjadi korban dan target perdagangan anak.
"Hal ini bisa berbentuk prostitusi, pornografi atau isu-isu perdagangan anak lainnya. Kami ingin semua pihak untuk bekerjakeras lagi terutama tidak terhenti pada aspek regulasi saja," kata Achmad saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (14/12).
Achmad mengatakan pemerintah sudah memiliki cukup undang-undang untuk mencegah adanya praktik tindak pidana perdagangan anak. Namun, dia menilai selama ini implementasi masih menjadi kelemahan pemerintah.
"Salah satunya adalah kita belum memiliki sistem rehabilitasi terintegrasi bagi korban perdagangan anak. Selama ini pemerintah hanya punya pusat aduan, yang kemudian merujuk untuk rehab di tempat lain," ujar Achmad.
Lebih jauh, selain persoalan ancaman dari teknologi, Achmad juga melihat masih banyaknya pekerja anak menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk meminimalisir adanya tindak pidana perdagangan anak.
"Kalau melihat prosentase anak yang duduk di bangku sekolah sebesar 60 persenan, ada sekitar 30 persenan yang pasti bekerja. Jumlah ini tersebar merata di seluruh Indonesia," kata Achmad.
(utd)