Polisi Jadi Pelaku Kekerasan Pers Terbanyak Tahun 2015

Lalu Rahadian | CNN Indonesia
Selasa, 22 Des 2015 15:18 WIB
Kekerasan terhadap pers juga kerap dilakukan masyarakat, oknum tak dikenal, pejabat parlemen, pengusaha, dan pelaku dunia hiburan.
Foto: ANTARAFOTO/Ari Bowo Sucipto
Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga kepolisian masih menjadi aktor nomor wahid sebagai pelaku kekerasan terhadap jurnalis hingga saat ini. Dari 47 kasus kekerasan yang melibatkan jurnalis, tercatat ada 17 perkara yang dilakukan oleh aparat kepolisian sepanjang tahun 2015.

Menurut Kepala Divisi Riset dan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Asep Komarudin, aparat kepolisian dapat dikatakan belum belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya terkait kebebasan pers di Indonesia.

Pada 2014, kepolisian juga menjadi penyumbang terbanyak pelaku kekerasan terhadap jurnalis se-Indonesia. "Ini memberikan tanda bahwa aparat kepolisian belum belajar dari kesalahannya sebelumnya. Kekerasan terhadap pers masih tetap ada karena pelaku kekerasan tidak diproses sebagaimana mestinya. Mereka tidak dihukum dan orang lain akan menirunya," kata Asep di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (22/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain aparat kepolisian, kekerasan terhadap pers juga kerap dilakukan masyarakat, oknum tak dikenal, pejabat parlemen, pengusaha, dan pelaku dunia hiburan.

Asep berkata, sepanjang tahun ini ada enam kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh oknum yang tak dikenal. Selain itu, tiga kasus kekerasan dilakukan oleh legislator, aparat pemerintah, dan pejabat eksekutif.

"Dibandingkan tahun lalu, lebih tinggi angkanya tahun lalu. Tapi kesamaannya, aktor yang melakukan kekerasan masih dominan oleh polisi. Tahun lalu banyak karena ada faktor Pilpres," katanya.

Kasus kekerasan jurnalis tahun ini paling banyak terjadi di kawasan DKI Jakarta. Berdasarkan catatan LBH Pers, terdapat delapan kasus yang terjadi di kawasan Jakarta.

Menyusul Jakarta, kekerasan terhadap jurnalis juga banyak terjadi di daerah Papua. Tercatat ada lima kasus kekerasan terhadap jurnalis di bumi cenderawasih sepanjang tahun ini.

"Sangat menjadi ironis karena mau tidak mau Jakarta adalah daerah yang menjadi percontohan bagi daerah lain. Kalau di Jakarta bisa terjadi (kekerasan pers), apalagi di daerah lain?" kata Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin.

Kesejahteraan Memprihatikan

Bukan hanya soal kekerasan, LBH Pers juga menyoroti kesejahteraan hidup jurnalis dinilai masih memprihatinkan. Selain banyak jurnalis yang mendapat gaji di bawah upah minimum regional, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang banyak terjadi juga menjadi sebab kesejahteraan jurnalis masih rendah.

"Kesejahteraan jurnalis prihatin karena disamping honornya masih banyak yang dibawah UMR, juga banyak lembaga media yang keberadaannya tak bisa dipertahankan sehingga harus ditutup karena masalah pendanaan," kata Nawawi.

Berdasarkan catatan LBH Pers, sepanjang 2015 ada tiga media cetak dan televisi yang melakukan PHK terhadap karyawan karena gulung tikar. Ketiga media yang dimaksud adalah Harian Jurnal Nasional, Bloomberg TV Indonesia, dan Harian Bola.

PHK yang dilakukan Harian Jurnal Nasional sempat menimbulkan konflik antara jurnalis dengan pihak perusahaan. Sementara Bloomberg TV Indonesia dikatakan belum melunasi pembayaran pesangon pengganti terhadap mantan pekerja hingga saat ini.

Menurut Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers Asep Komarudin, perusahaan media seharusnya lebih memperhatikan kesejahteraan pekerja mengingat kesejahteraan jurnalis sangat berpengaruh terhadap kualitas pemberitaan.

"Jika jurnalis tidak memperoleh kesejahteraan yang cukup, akan berpengaruh pada independensi pemberitaannya," ujar Asep.

Berdasarkan catatan yang telah dibuat, LBH Pers pun meminta agar perusahaan media lebih memperhatikan kesejahteraan jurnalisnya di masa yang akan datang. "Hak-hak terhadap jurnalis harus diberikan sesuai Undang-undang Ketenagakerjaan," kata Asep. (rdk/rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER