Jakarta, CNN Indonesia -- Pengurus Yayasan Supersemar akan menelusuri dan menagih piutang yang sempat diberikan yayasan tersebut kepada beberapa bank dan perusahaan pada periode 1990an silam. Penagihan utang akan dilakukan agar Supersemar mampu membayar denda perkara perdata yang menjeratnya sebesar Rp4,4 triliun.
Kuasa Hukum Supersemar Bambang Hartono berkata, juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak bisa menyita aset milik yayasan tersebut hingga penarikan piutang dilakukan untuk membayar denda perkara.
Sebabnya, piutang yang diberikan Supersemar telah menjadi pertimbangan hukum bagi pengadilan untuk memutus bersalah yayasan pendirian Presiden kedua Soeharto itu beberapa tahun silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aset Supersemar tidak bisa disita karena dalam gugatannya itu, perbuatan melanggar hukum itu karena uang yang dipinjam-pinjamkan kepada beberapa perusahaan. Uang ini yang harus ditagih terlebih dahulu sesuai pertimbangan hukum pengadilan," kata Bambang di PN Jakarta Selatan, Rabu (20/1).
Supersemar tercatat pernah menyalurkan utang kepada 1 bank dan 7 perusahaan pada periode 1990an silam. Para penerima utang Supersemar saat itu adalah Bank Duta, PT. Sempati Air, PT Kiani Lestari, PT Kiani Sakti, PT Kalhold Utama, Essam Timber, PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri, dan Kelompok Usaha Kosgoro.
Pada Putusan MA Nomor 2896 K/Pdt/2009 disebutkan bahwa Bank Duta sempat menerima uang sejumlah US$ 420 juta dari Supersemar. Sementara PT. Sempati Air menerima dana Rp13 miliar kala itu.
Kemudian, uang sebesar Rp150 miliar diberikan Supersemar kepada PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti. PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri menerima uang sebesar Rp12 miliar dari yayasan tersebut.
Terakhir, Kosgoro tercatat menerima uang sejumlah Rp10 miliar dari Supersemar di periode yang sama.
Menurut Bambang, dirinya akan meminta bantuan juru sita PN Jakarta Selatan untuk menelusuri dan menagih piutang dari bank dan perusahaan yang disebut di atas. "Kita juga minta bantuan kepada pengadilan untuk mencari dana dari yang dipinjamkan ke pihak ketiga," katanya.
Karena penyaluran utang ke bank dan beberapa perusahaan kala itu, Supersemar divonis bersalah oleh PN Jakarta Selatan pada 28 Maret 2008. Putusan PN Jakarta Selatan dikuatkan dengan vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta di tingkat banding pada 19 Februari 2009.
Keberatan dengan putusan itu, Supersemar mengajukan kasasi ke MA pada Oktober 2010. Namun kasasi Supersemar tidak diterima sepenuhnya oleh MA. MA menerima sebagian permohonan pemerintah. Namun jumlah nominal denda yang harus dibayar Yayasan Supersemar salah ketik dalam putusan tersebut.
Dalam putusan, tertulis denda yang harus dibayar Supersemar adalah 75 persen dari Rp185 juta. Padahal Yayasan itu seharusnya membayar 75 persen dari Rp185 miliar, atau Rp 139 miliar kepada negara.
Atas kasasi itu, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) pada September 2013, yang juga diikuti PK Yayasan Supersemar. MA akhirnya mengabulkan PK negara dan menolak PK Supersemar sehingga mereka mesti membayar denda sebesar Rp4,4 triliun lebih pada tahun ini.
(bag)