LIPUTAN KHUSUS

Jakarta Banjir Sejak Era Batavia

Megiza | CNN Indonesia
Selasa, 09 Feb 2016 15:29 WIB
Pada masa pemerintahan Belanda, para lurah atau wijkmeester diminta langsung menghukum warga yang tepergok membuang sampah ke kali.
Pada masa pemerintahan Belanda, para lurah atau wijkmeester diminta langsung menghukum warga yang tepergok membuang sampah ke kali. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Jakarta, CNN Indonesia -- Disergap banjir saat musim hujan untuk warga Jakarta saat ini sudah tak lagi menjadi cerita legenda yang aneh. Masyarakat yang tinggal di permukiman berstatus sosial kalangan atas hingga bawah bisa jadi telah mencicipi rasanya terkena ataupun terendam banjir.

Salah satu banjir yang tercatat nyaris melumpuhkan ibukota Indonesia itu terjadi pada Januari 2013. Kala itu, air dari Pintu Air Manggarai yang biasanya dilarikan ke Kanal Banjir Barat tumpah hingga Bundaran Hotel Indonesia, setelah menjebol tanggul di Latuharhary.

Sedang sebelumnya, beberapa kali banjir juga kerap merendam Jakarta. Dalam buku berjudul 'Batavia Kota Banjir' yang ditulis oleh Alwi Shahab, tercatat pada Februari 2007, banjir menyebabkan 70 persen wilayah kota Jakarta lumpuh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kala itu, ratusan ribu rakyat yang kediamannya kebanjiran mengungsi ke berbagai tempat penampungan, termasuk masjid dan sekolah. Mereka tidur saling berdesakan dalam keadaan perut keroncongan, kedinginan, dan terserang penyakit.

Sedangkan warga tajir, yang tinggal di permukiman-permukiman mewah, lebih memilih mengungsi ke hotel-hotel berbintang.

Alwi menuliskan, banjir di Ibu Kota sebenarnya sudah terjadi sejak lama dan selalu memusingkan para Wali Kota dan Gubernur untuk mengendalikannya. Sejak Wali Kota Suwiryo sampai Sudiro, Gubernur Dr Sumarno sampai Sutiyoso.

Begitu pula saat Belanda masih menduduki Batavia, nama Jakarta kala itu. Banjir juga memusingkan para gubernur Jenderal Belanda. Dari JP Coen sampai AWL Tjarda van Starkenborgh Stachoewer juga gagal mengatasi banjir di Batavia.

Tercatat ada 66 Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa di Batavia, tapi tidak ada yang pernah merasa bersalah atas terjadinya banjir di kota ini.

Namun, seorang penulis Amerika Serikat yang selama beberapa tahun menjadi staf kantor penerangan AS (USIS) di Jakarta, ketika menulis tentang kota ini, menyalahkan pendiri Batavia JP Coen karena mendirikan kota di atas rawa-rawa.

Kalau saja Coen bijaksana dan memilih tempat yang lebih tinggi, setidaknya bencana banjir dapat dikurangi dan tidak memusingkan para penggantinya.

Jakarta yang terletak di dataran rendah sejak zaman Kerajaan Tarumanegara, memang sering dilanda banjir. Peristiwa yang terjadi 15 abad lalu itu sempat terekam dalam Prasasti Tugu di Jakarta Utara yang kini disimpan di Museum Sejarah Jakarta.

Raja Purnawarman yang memimpin kerajaan ini pernah menggali Kali Chandrabagha (Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Mati di Tangerang) sepanjang 12 kilometer untuk mengatasi banjir.

Untuk itu, sang raja telah menyembelih seribu ekor sapi. Para sejarawan memperkirakan, jika satu ekor sapi dagingnya dimakan untuk 100 orang, maka jumlah penduduk di sekitar kawasan itu pada 14 abad yang lalu sudah mencapai ratusan ribu jiwa.

Ketika melakukan penggalian tersebut, kebijakan permukiman didasarkan pada prinsip keseimbangan ekologi. Karena itu, rawa-rawa di pedalaman oleh sang raja boleh diuruk untuk permukiman.

“Maka munculah nama-nama kampung seperti Rawa Bangke di Jatinegara dan Rawa Anjing di Banten. Tetapi rawa-rawa di pantai oleh raja dilarang untuk diuruk karena merupakan kawasan resapain air,” tulis Alwi dalam pembuka buku terbitan Republika itu.

Di sana juga tertulis, bahwa banjir paling besar terjadi di Batavia pada 1872. Kala itu banjir membuat Sluisburg (Pintu Air) di depan Masjid Istiqlal jebol.

Saat itu Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk dan sekitarnya. Begitu pula Harmoni, Rijswijk (Jalan Veteran) dan Noordwijk (Jalan Juanda), tidak dapat dilalui kendaraan. Demikian juga Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Pada tahun 1895 pemerintah Hindia Belanda disebut-sebut pernah merancang grand design untuk menanggulangi banjir di Batavia. Belanda sangat sadar bahwa Batavia merupakan dataran rendah yang potensial terlanda bencana banjir, karena daerahnya memang berawa-rawa dan banyak terdapat situ (danau kecil).

Grand design itu mencakup pembangunan yang menyeluruh dari daerah hulu di kawasan Puncak hingga hilir di daerah estuaria di utara Jakarta. Kini kawasan Puncak sudah semerawut dan beralih fungsi, sebagian sudah kehilangan hutan, akibat pembangunan vila-vila yang menyalahi tata ruang. Tidak heran kalau hujuan turun di kawasan ini Jakarta kebanjiran karena hilangnya daerah resapan air.

Banjir besar juga pernah terjadi di Jakarta pada 1932. Banjir yang terjadi pada1932. Banjir yang terjadi pada 9 dan 10 Januari 1932 disebabkan hujan yang turun selama dua hari dua malam, dengan curah mencapai 150 mm.

Kala itu, banyak penduduk tinggal di atap-atap rumah menunggu air surut. Dalam menangani banjir, pemerintah kolonial Belanda jauh lebih baik dari masa kini. Para lurah yang ketika itu disebut wijkmeester, atau bek menurut dialek Betawi, ditugaskanagar betul-betul mengawasi kebersihan.

Mereka yang tepergok membuang sampah di sungai akan langsung dihukum. Pemerintah Hindia Belada juga mengeluarkan perintah agar semua kali buatan dan kanal di dalam kota Batavia dibersihkan dari penduduk yang tinggal di bantarannya.

“Kalau Belanda bertindak tegas terhadap mereka yang tinggal di bantaran sungai dan menghukum mereka yang membuang sampah di sungai, kenapa tindakan semacam itu kini tidak dilakukan? Kalau kita mau meredakan banjir, baik banjir kiriman maupun banjir setempat, upaya pemeliharaan sungai sangat diperlukan,” tulis Alwi. (meg/meg)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER