Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) meminta kementerian, lembaga, pemerintah daerah, serta dunia usaha untuk melanjutkan program pengurangan risiko bencana tsunami. Program yang tertuang dalam masterplan tersebut terdiri dari empat poin utama yang membutuhkan dukungan pendanaan.
Empat poin tersebut yaitu penguatan rantai peringatan dini tsunami, pembangunan dan pengembangan tempat evakuasi sementara (shelter), penguatan kapasitas kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana, dan pembangunan intrumentasi kebencanaan nasional.
“Tentu untuk melakukannya diperlukan dukungan pendanaan. Jika tidak maka hanya tertuang dalam dokumen masterplan saja, tanpa ada wujudnya, sementara tsunami dapat mengancam kapan saja terjadi,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho hari ini, Kamis (3/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Sutopo, empat program tersebut merupakan salah satu pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk mengurangi jumlah korban jiwa maupun kerusakan akibat gempabumi disusul tsunami. BNPB menggunakan penelitian yang dilakukan Unsyiah dan Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 2012 yang menyoroti empat perilaku masyarakat melakukan evakuasi tsunami saat menerima peringatan dini.
Temuan dalam penelitian perilaku itu adalah 63 persen masyarakat tidak mendengar peringatan dari sirine tsunami karena jumlah sirini masih sangat terbatas. Saat ini hanya ada 50-an sirine tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan sekitar 200-an sirine tsunami berbasis komunitas. “Masih jauh dari kebutuhan yang mencapai ratusan ribu,” kata Sutopo.
Sutopo melanjutkan, 75 persen masyarakat yang melakukan evakuasi menggunakan kendaraan bermotor yang menyebabkan kemacetan. Hal ini karena sebagian besar masyarakat melakukan evakuasi secara bersamaan dan menuju lokasi yang hampir sama yaitu ke tempat lebih aman.
“Sebanyak 78 persen pengungsi terjebak dalam kemacetan sekitar 20 menit,” ujar Sutopo.
Menurut Sutopo, kepercayaan masyarakat terhadap bangunan evakuasi vertikal sangat rendah. Beberapa kasus di Padang dan Banda Aceh yang ditemui BNPB yaitu masyarakat cenderung melakukan evakuasi horisontal atau menuju dataran tinggi yang lokasinya lebih jauh, dapat mencapai 1,5 kilometer.
“Dibandingkan menggunakan bangunan evakuasi vertikal yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempat tinggalnya. Perilaku ini sangat dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, dan pendidikan dan latihan yang dimiliki,” katanya.
Sementara itu, 71 persen masyarakat belum pernah mengikuti latihan menghadapi bencana karena latihan yang masih terbatas atau masyarakat yang menolak mengikuti pelatihan.
“Anggaran untuk pelatihan bencana juga sangat terbatas, bahkan banyak yang tidak dialokasikan dalam APBD,” tutur Sutopo.
Gempabumi tektonik berkekuatan 7,8 skala richter mengguncang Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, Rabu malam (2/3) pukul 19.49.47 WIB. Saat pertama kali diinformasikan secara resmi kepada publik, BMKG menyebut guncangan kuat tersebut berpotensi tsunami sehingga masyarakat berhamburan mengamankan diri ke tempat tinggi.
Namun BMKG secara resmi telah mengakhiri peringatan dini tsunami tersebut tepat pukul 22.32.42 WIB, Rabu malam. Pantai barat Sumatra dinyatakan aman, sehingga masyarakat pesisir pantai yang sempat melakukan evakuasi diminta kembali ke rumah masing-masing.
(rdk)