Jakarta, CNN Indonesia -- Pegiat Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Mugiyanto menyatakan, penyair Wiji Thukul tidak mahir merakit bom. Mugi mengatakan hal itu menyusul penghargaan pemerintah Timor Leste kepada Thukul.
Belakangan, sebuah kabar menyebut Thukul mendapatkan penghargaan itu karena memasok dan merakit bom untuk milisi setempat. Kejadian itu disebut terjadi sebelum referendum tahun 1999.
"Dia tidak bisa merakit bom. Dia bukan milisi, badannya saja cungkring. Senjata yang dia pakai adalah puisi," kata Mugi kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (18/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mugi berkata, kabar yang viral di media sosial tersebut tidak sesuai dengan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Karena berkas tentang penghilangan orang secara paksa tahun 1997 itu tidak menyebut keberadaan Thukul di Timor Leste.
Diketahui, Thukul merupakan satu dari sekian orang yang diduga menjadi korban penghilangan secara sistematis itu. "Informasi itu keji dan bertentangan dengan penyelidikan Komnas. Pada berkas yang dilimpahkan ke DPR, tidak ada temuan itu," ucapnya.
Mugi memaparkan, sebelum hilang Thukul bersama sejumlah anggota dan kader Partai Rakyat Demokratik memang mendukung warga Timor Timur mendapatkan hak menentukan nasib sendiri.
Menurut Mugi, pemerintah Timor Leste tak hanya menanugerahkan penghargaan kepada Thukul. Kolega Thukul di PRD, seperti Budiman Sudjatmiko, Wilson dan Indah Sari juga menerima anugerah serupa. "Inti dari penghargaan itu, mereka berkontribusi pada kemerdekaan Timor Leste," ucap Mugi.
Tahun lalu, kepada
CNNIndonesia.com, Wakil Ketua Internal Komnas HAM Siti Noor Laila mengatakan, komisinya telah berusaha mengumpulkan keterangan saksi untuk mengungkap hilangnya Thukul. Namun Komnas HAM terkendala tidak adanya satupun pihak yang mengaku dan mau bertanggung jawab atas hilangnya Thukul.
Siti menjelaskan, penanganan kasus hilangnya Thukul sama halnya dengan penanganan dua belas orang lain yang hilang sekitar pada kisruh 1997 sampai 1998.
“Hilangnya Thukul mengarah pada proses sistematis. Karena dilakukan dengan adanya perintah, terencana, kemudian menggunkan kekuatan aparat negara. Tapi, kepastiannya ditentukan nanti di pengadilan.” ujar Siti.
(abm/rdk)