Jakarta, CNN Indonesia -- Sebanyak lima belas pakar yang tergabung ke dalam Forum Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia (FDIP-UI) menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka hari ini.
Dalam pertemuan selama 1,5 jam tersebut, mereka menyampaikan adanya penyimpangan antara visi misi bangsa yang tertuang dalam Revolusi Mental dengan kondisi di lapangan.
"Soal Revolusi Mental, kami berkesimpulan terjadi semacam penyimpangan atau deviasi," kata Ketua FDIP-UI Freddy Ndolu di Kantor Presiden, Senin (28/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyimpangan itu, ujar Freddy, mewujud dalam bentuk adanya kekisruhan yang terjadi di pemerintahan dan parlemen karena tidak adanya kesamaan visi dan misi. Hal itu, menurutnya, berpotensi jadi persoalan dalam sistem demokrasi Indonesia.
"Kalau visinya tidak sama, bisa jadi kegaduhan politik antara DPR dan politik seperti yang selama ini terjadi," kata Freddy.
Menyikapi persoalan tersebut, Freddy mengatakan Presiden Jokowi menjelaskan pemerintah sedang menyiapkan sebuah model implementasi Revolusi Mental agar terwujud konsistensi visi dan misi bangsa di tengah masyarakat.
"Presiden mengatakan model ini tengah digodok oleh pemerintah dan dicari bentuknya yang sesuai," kata Freddy.
Natuna dan MaselaSekretaris Jenderal FDIP-UI Connie Rahakundini Bakrie mengatakan, selain persoalan Revolusi Mental, ia dan rekan-rekannya juga menyampaikan pandangan terkait masalah pertahanan keamanan di Laut Natuna dan Blok Masela.
Mengenai persoalan Natuna, Connie yang pakar militer dan pertahanan tersebut meminta Jokowi bersikap hati-hati, sebab kapal pemerintah Indonesia yang selama ini menindak kapal-kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal merupakan kapal perikanan.
Kapal perikanan, ujar Connie, tak terdaftar sebagai kapal pemerintah dalam International Maritime Organization (IMO).
"Dunia internasional hanya mengenal dua jenis kapal, yakni
government ship dan
war ship. Kapal perikanan memang terdaftar di dalam negeri, tetapi tidak di dunia internasional," kata Connie.
Hal ini bisa menimbulkan persoalan kalau diperkarakan ke tingkat internasional. "Posisi kita sedemikian lemah kalau dibawa ke dunia internasional," ujar Connie.
Terkait Blok Masela, Connie meminta pemerintah lebih memperhatikan masalah tanah ulayat setelah memutuskan untuk melakukan pengembangan (
Plan of Development/POD) di darat.
"Masalah pembebasan tanah akan jadi sangat sulit di sana, terutama terkait tanah adat atau ulayat," kata Connie.
Connie mencontohkan persoalan pembangunan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) yang bermasalah karena tanahnya belum dibeli oleh pemerintah.
"Ini salah satu contoh bagaimana Jakarta tidak kenal hal-hal seperti ini tetapi terjadi di sana," ujar Connie.
(agk)