Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia menunggu izin dari Filipina terkait upaya penyelamatan anak buah kapal (ABK) Indonesia yang disandera kelompok militan Abu Sayyaf.
"Kami sedang menunggu koordinasi apakah nanti dari pemerintah Filipina membolehkan kami ikut ke sana atau tidak," kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di Jakarta.
Polri dan TNI telah bersepakat bahwa aksi penyelamatan akan dilakukan oleh TNI. "TNI yang akan mengoordinasikan karena ini ada di luar wilayah Indonesia," kata Badrodin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyelamatan dilaksanakan setelah ada kejelasan dari pemerintah Filipina, sebab Indonesia tidak berwenang untuk melakukan penindakan hukum atas aksi kriminal yang terjadi di luar wilayah Indonesia.
Berdasarkan informasi yang diterima Badrodin, 10 ABK Indonesia yang disandera kelompok Abu Sayyaf sejauh ini dalam kondisi baik.
Sementara mengenai uang tebusan yang diminta penyandera, Badrodin mengatakan menyerahkan hal tersebut kepada perusahaan kapal tempat para ABK itu bekerja.
"Belum ada (tebusan), itu urusan perusahaan," kata Badrodin.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan prioritas pemerintah adalah keselamatan para ABK itu.
"Untuk menangani kasus ini, kami terus berkoordinasi dan berkomunikasi dengan berbagai pihak termasuk Menlu Filipina," kata Retno.
Kementerian Luar Negeri menyatakan ada dua kapal yang dibajak kelompok Abu Sayyaf, yakni Brahma 12 dan Anand 12 yang membawa 7 ribu ton batu bara. Brahma 12 sudah dilepas dan kini berada di tangan otoritas Filipina, sedangkan Anand 12 dan sepuluh awaknya masih disandera.
Wakil Komandan Pasukan Khusus Zambasulta, Mayor Jenderal Demy Tejares, seperti dikutip dari Inquirer, mengatakan Brahma 12 itu berlayar dekat Pulau Tambulian saat dua bersaudara anggota Abu Sayyaf, Nickson dan Brown Muktadil, naik ke kapal tersebut dan menodongkan senjata kepada para ABK.
Kelompok Abu Sayyaf yang berbaiat kepada ISIS kerap melakukan penculikan, pengeboman, dan pembunuhan di wilayah selatan Filipina.
Kelompok itu meminta tebusan sekitar Rp15 miliar sebagai kompensasi pembebasan para anak buah kapal. Namun pemerintah RI keberatan memenuhi tuntutan itu. Penyandera dikabarkan memberi tenggat waktu tertentu atas penyerahan uang tebusan.
(agk)