Jakarta, CNN Indonesia -- Telepon di kediaman Nurtanio Pringgoadisurjo berdering. Itu panggilan dari sahabatnya, Jacob Salatun. Mereka berdua perwira Angkatan Udara Republik Indonesia. Salatun mengabarkan, Presiden Sukarno telah mengeluarkan surat keputusan tentang pendirian Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar Nasional (kini Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional).
“Nur, ini ada Lapan. Kamu yang memimpin ya,” kata Salatun tanpa tedeng aling-aling. Tahun 1963 itu, Salatun menjabat Sekretaris Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (Depanri).
Nurtanio langsung menolak permintaan Salatun. “Loh, kok kamu memberi saya pekerjaan baru. Saya tidak mau ah. Kamu saja yang memimpin Lapan, Tun.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nurtanio layak keberatan. Ia sudah kebanyakan pekerjaan. Keterbatasan tenaga ahli pada masa itu membuat Nurtanio harus merangkap sejumlah jabatan. Nurtanio menjadi Direktur Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) yang menjadi cikal bakal Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), juga anggota Dewan Perancang Nasional yang bertugas mempersiapkan undang-undang pembangunan nasional terencana.
Tak cuma itu, Nurtanio menjabat Direktur Pemeliharaan Materiil, Kepala Teknologi Udara, dan Wakil Kepala Staf Teknik Markas Besar AURI; serta Komandan Depot Penyelidikan, Percobaan dan Pembuatan Pesawat Terbang Pangkalan Udara Husein Sastranegara Bandung. Ia pening membagi waktu.
Salatun terus membujuk Nurtanio. Ia yakin pria lulusan FEATI (
Far Eastern Air Transport Incorporated) Insitute of Technology, Manila, Filipina, itu paling tepat memimpin Lapan.
Salatun berkata, tak etis jika ia sendiri yang membawahi Lapan. “Saya kan melahirkan Lapan dari Depanri. Saya ini yang bikin Lapan. Kalau saya kepalanya juga kan tidak bagus, bisa subjektif.”
Percakapan telepon Jakarta-Bandung antara Salatun dan Nurtanio tersebut dicuri dengar oleh Adi Sadewo, putra Salatun yang saat itu masih berusia belasan tahun dan duduk di Sekolah Menengah Pertama.
“Waktu itu masih pakai telepon hitam model lama, suaranya keresek-keresek,” kata Adi kepada CNNIndonesia.com di kediamannya, Jakarta Timur, Rabu (23/4).
Antariksa dan kedirgantaraan menjadi minat Salatun sejak lama, ketika ia masih remaja dan bergabung bersama Nurtanio di Junior Aero Club sekolah mereka, Kogyo Senmon Gakko atau Sekolah Menengah Tinggi Teknik di Sawahan, Surabaya, Jawa Timur, tahun 1944.
Di sekolah itu, Nurtanio merupakan kakak kelas Salatun. Mereka penggila pesawat terbang dan sejak kecil sama-sama berlangganan majalah penerbangan berbahasa Belanda,
Vliegwereld. Di kemudian hari, Nurtanio dan Salatun sama-sama mengawali karier di AURI dan mendapat julukan perintis dirgantara Indonesia.
 Jacob Salatun, pendiri Lapan dan perintis antariksa Indonesia (berkacamata, kemeja dinas cokelat, empat dari kanan). (Dok. Pribadi) |
Lapan ialah visi dan buah karya Salatun yang kemudian dinakhodai Nurtanio. Lembaga ini mencoba menghimpun dan mewujudkan kebutuhan serta kemandirian Indonesia di bidang teknologi kedirgantaraan.
Salah satu pemicu Lapan dibentuk ialah cibiran ilmuwan internasional dalam
International Geophysical Year 1957-1958 yang menyebut Indonesia sebagai
blank area akibat data ilmiah yang amat minim dari negeri ini.
Pun dunia saat itu dilanda demam perlombaan dan eksplorasi antariksa. Negara-negara Asia lain yang seumuran Indonesia seperti India dan Pakistan telah lebih dulu membentuk badan antariksa dan meluncurkan roket-roket ke angkasa.
VakumLapan pun berdiri. Pada 1964, kerja sama AURI dan Institut Teknologi Bandung dalam Proyek Roket Ilmiah dan Militer Awal berhasil meluncurkan dua seri roket Kartika. Menyusul peluncuran tiga seri roket Kappa-8 oleh Lapan setahun kemudian, Agustus 1965. Itu merupakan terobosan besar bagi Indonesia di bidang kedirgantaraan.
Namun hanya berjarak sebulan dari peluncuran roket Kappa-8, cobaan berat menghantam bertubi-tubi. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 berdampak nyaris ke semua sektor. Kegiatan di Lapan terhenti. Belum lagi berbagai fasilitas di Pusat Antariksa Lapan, Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat, rusak parah dilanda angin puyuh.
Menggenapi badai musibah itu, Nurtanio gugur di Bandung ketika sedang menguji coba pesawat, 21 Maret 1966. Lapan bak vakum meski posisi Nurtanio digantikan figur lain.
Lembaga itu baru kembali berdenyut sewindu kemudian, saat Salatun memimpinnya. Meski semula jabatan Kepala Lapan enggan ia emban hingga dia serahkan ke Nurtanio, wafatnya sang sahabat membuat Salatun harus turun tangan membenahi lembaga yang ia bidani kelahirannya.
Tahun 1974, Presiden Soeharto mengeluarkan surat keputusan yang isinya mempertegas fungsi Lapan untuk merintis dan mengembangkan kedirgantaraan guna kepentingan nasional. Lapan pun membangun Kantor Pusat Teknologi Dirgantara di Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Demi membangun fasilitas di Rumpin yang bak negeri antah-berantah, Salatun dan para pegawainya melakukan babat alas. Hutan belantara dengan binatang-binatang liar di dalamnya mesti mereka hadapi.
Di bawah Salatun, Lapan menggeliat. Roh baru ditiupkan. Lembaga itu hendak menyambung kerja Nurtanio yang terputus. Lapan mengkaji ulang dan melakukan riset atas pesawat Lipnur Trainer-200 yang dibuat Suharto, konsultan PT Chandra Dirgantara, untuk Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (Lipnur) –yang kemudian berganti nama menjadi IPTN.
Dari kajian atas LT-200 itu, riset berlanjut ke pesawat perintis Experimental Transport-400, juga rancangan Suharto –pria lulusan ITB dan Universitas Teknologi Braunschweig Jerman yang merupakan kawan Nurtanio.
 Miniatur pesawat XT-400 terpancang di Bundaran Kompleks Pusat Teknologi Penerbangan Lapan. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi) |
Pembuatan XT-400 disorot dunia. Namun proyek tersebut dihentikan saat terjadi pergantian menteri. Tak sekadar itu, program riset Desain dan Konstruksi Pesawat Udara di Lapan disetop. Pusat Teknologi Dirgantara dicoret begitu saja dari Lapan pada 1978.
Keterputusan riset pun kembali dialami Lapan. Kali ini bahkan selama 33 tahun. Setelah jeda panjang itu, Lapan baru kembali memiliki Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) pada 2011.
Kesempatan untuk menghidupkan kembali Pustekbang muncul tak sengaja pada rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat. “Saat rapat dengar pendapat di DPR, kami diledek, ‘Lapan ini singkatan dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, tapi mana hasil riset penerbangannya? Ganti saja jadi LAN (Lembaga Antariksa Nasional),’” kata peneliti senior Lapan, Sulistyo Atmadi, menirukan ucapan salah seorang anggota DPR.
Sindiran anggota DPR itu sesungguhnya berkah bagi Lapan, sebab mereka memang ingin meneruskan riset penerbangan. Apalagi pada Kepala Lapan otomatis melekat jabatan Komisaris PT Dirgantara Indonesia (dulu IPTN) seperti Kepala Staf TNI Angkatan Udara.
“Jadi waktu itu saya Komisaris PTDI dan Kepala Lapan. PTDI itu perusahaan industri pesawat terbang. Tapi di Lapan saat itu tak ada riset pesawat terbang,” ujar mantan Kepala Lapan Adi Sadewo, mengamini ucapan Sulistyo secara terpisah.
Lapan pun membuka Pustekbang dan mengaktifkan program Rancang Bangun Pesawat Terbang mereka. Pesawat N-219 menjadi riset perdana pascavakum dengan menggandeng PTDI. Lapan, sesuai Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008, berperan sebagai pusat riset dan pengembangan produk kedirgantaraan. Sementara PTDI sebagai pusat produksi.
Peraturan Presiden tersebut dianggap tepat karena PTDI pun dianggap membutuhkan bantuan. “Yang jalan di PTDI ketika itu proses produksi, misal membuat komponen untuk Boeing, tapi proses desain mandek,” ujar Sulistyo.
Lewat N-219, Lapan dan PTDI –dua lembaga warisan para perintis dirgantara Indonesia– bekerja sama erat. Transfer teknologi dilakukan kepada generasi muda.
“Kalau sampai telat sedikit, mereka yang punya pengalaman merancang pesawat di PTDI (pada era Habibie) sudah pada pensiun,” kata Sulistyo.
N-219 sesungguhnya merupakan rancangan PTDI yang belum rampung karena riset terkendala dana. Dibukanya Pustekbang Lapan membuat riset kembali dilanjutkan dengan biaya pemerintah dan melibatkan banyak tenaga ahli PTDI.
KonsistensiLapan kini juga mengembangkan pesawat pemantau ringan atau LSA
(light surveillance aircraft) dan pesawat tanpa awak atau UAV
(unmanned aerial vehicle) yang lebih dikenal dengan istilah
drone. Keduanya diproyeksikan menjadi bagian dari sistem pemantauan maritim terintegrasi sesuai visi maritim Jokowi.
UAV tersebut nantinya diharapkan dapat pula digunakan untuk memantau perbatasan, pencurian ikan ilegal, pencurian kayu ilegal, pertanian, hingga bencana alam.
Namun jalan Lapan jauh dari lapang. Alokasi anggaran sama sekali tak memadai. Dari Rp1,3 triliun yang dibutuhkan Lapan tahun ini misalnya, pemerintah hanya menggelontorkan Rp700 miliar. Jumlah itu di internal Lapan masih barus dibagi-bagi lagi antara teknologi penerbangan, roket, dan satelit.
Anggaran tersebut, dibanding pendanaan yang diterima lembaga serupa di sejumlah negara Asia lain, tak ada apa-apanya. Pun begitu, Lapan September tahun lalu meluncurkan satelit ekuatorial pertama di Indonesia. Satelit berbobot 78 kilogram yang diberi nama Lapan-A2 itu melintasi wilayah Indonesia 14 kali dalam sehari.
 Presiden Jokowi mendengarkan penjelasan Kepala Lapan Thomas Djamaluddin (kiri) saat meninjau Satelit Lapan-A2. (ANTARA/Leily-Setpres) |
Lapan-A2 membawa misi mitigasi bencana, pemantauan permukaan bumi, lalu lintas dan identifikasi kapal laut, dan komunikasi radio amatir. Selanjutnya Lapan-A3 hasil kerja sama dengan Institut Pertanian Bogor direncanakan menyusul diluncurkan Mei tahun ini dengan menumpang roket India, sama seperti Lapan-A2 yang meluncur dari Pusat Antariksa India.
Lapan-A3 membawa misi pemantauan pertanian dan maritim. Selain itu, Lapan bekerja sama dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika akan membuat satelit Lapan-A4 untuk pemantauan meteorologi. Direncanakan pula pengembangan Lapan-A5 untuk kepentingan pertahanan.
Berkaca pada masa lalu, Sulistyo berharap tak ada lagi keterputusan atau kevakuman riset di Lapan ke depannya. Ia menekankan pentingnya konsistensi: melakukan semua hal sesuai tahapan, tak lantas berubah atau melompat saat kepemimpinan berganti.
Salatun, sang perintis antariksa Indonesia, saat menggelar perpisahan di akhir kepemimpinannya di Lapan, bak hendak menyematkan mantra penghalau suratan tragis, menyuntikkan energi pengusir tangis.
Seumur hidup berkiprah di bidang kedirgantaraan, Salatun tahu tak ada jalan tak berliku. Maka ia berpesan kepada penerusnya,
“For a true fighter, there is no journey’s end.”
[Gambas:Video CNN]
(agk)