Simposium 1965, Upaya Pemerintah Selesaikan Tragedi
Abraham Utama | CNN Indonesia
Senin, 18 Apr 2016 06:53 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Sidang perkara HAM 1965 di Pengadilan Rakyat Internasional (Dok. Akun Flickr International People's Tribunal Media)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah simposium nasional yang membahas Tragedi 1965 akan berlangsung, Senin (18/4). Forum yang didukung Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan itu akan mempertemukan korban, sejarawan, mantan jenderal TNI dan beberapa tokoh representasi lembaga yang terseret peristiwa berdarah di sekitar 1965.
Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan dijadwalkan memberikan pidato pada pembukaan simposium itu, sekitar pukul 8.30 WIB atau tiga jam sebelum ia terbang ke Ternate, Maluku Utara.
Pada keterangan tertulis yang ditandatangani Luhut, Ketua Panitia Pengarah sekaligus Gubernur Lemhanas Agus Widjojo dan Ketua Panitia Pelaksana Suryo Susilo, simposium itu diharapkan dapat menjadi awal bagi penyelesaian polemik Tragedi 1965.
"Pemerintah bertekad tahun ini dapat menyelesaikan konflik dan trauma serta mendudukkan Peristiwa 1965 yang sebenarnya dalam perspektif sejarah," tulis pernyataan pers tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simposium Tragedi 1965 merupakan forum pertama yang disokong pemerintah untuk penyelesaian satu dari sekian pelanggaran HAM masa lalu.
Pada forum itu pemerintah akan memfasilitasi diskusi antara korban, saksi dan pakar sejarah. Pemerintah berharap dialog tersebut dapat melengkapi temuan-temuan yang telah dipublikasikan Komisi Nasional HAM tahun 2012 silam.
Sejak publikasi itu, demikian dalam pernyataan pers itu, pemerintah mengakui belum pernah sungguh-sungguh menjalani proses penyelesaian kasus 1965.
Simposium Tragedi 1965 bermula dari gagasan Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Perkumpulan itu beranggotakan sejumlah keluarga tokoh nasional yang menjadi korban Tragedi 1965, baik dari unsur militer maupun sipil.
Wacana tersebut berlanjut pada beberapa pertemuan di kantor Dewan Pertimbangan Presiden, tempat Sidarto Danusubroto berkantor. Mantan Ketua MPR yang pernah dipenjara pemerintah Orde Baru itu merupakan pegiat FSAB.
Beberapa lembaga lantas bergabung dengan Watimpres pada penyelenggaraan Simposium Tragedi 1965. Sejumlah institusi itu antara lain Dewan Pers dan lembaga kajian dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Sanata Dharma serta UIN Sunan Kalijaga.
Jelang Simposium Tragedi 1965, beberapa pegiat HAM menyatakan resistensi mereka. Kontras misalnya, menyebut upaya rekonsiliasi yang diusung forum itu tidak akan terwujud tanpa pengungkapan kebenaran atau penegakan hukum terlebih dulu.
"Kalau pelaku tidak diketahui, bagaimana rekonsiliasi dapat berjalan. Dengan siapa korban harus berekonsiliasi," kata peneliti Kontras, Ferry Kusuma, Jumat pekan lalu.
Di sisi lain, komunitas korban seperti yang berkumpul pada Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 telah mengkonfirmasi kehadiran mereka pada simposium.
Bedjo Untung, pegiat YPKP, menuturkan lembaganya mendapat jatah 15 kursi saat simposium.
Yayasan yang lokakaryanya di Cianjur, Jawa Barat, pekan lalu dibubarkan kelompok intoleran itu tidak menolak penyelesaian non-yudisial (rekonsiliasi). Namun mereka mendesak Kejaksaan Agung tetap menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.
Hal serupa juga dinyatakan Asvi Warman Adam, sejarawan senior yang bersaksi untuk komunitas korban pada International People's Tribunal 1965 di Den Haag, Belanda, tahun 2015 lalu.
"Saya setuju rehabilitasi tapi saya juga mendukung pengungkapan kebenaran," kata Asvi kepada CNNIndonesia.com.
Berlangsung dua hari, Simposium Tragedi 1965 akan terbagi dalam delapan sesi. Setiap dialog dalam sesi-sesi itu menghadirkan tiga hingga empat pembicara dan seorang moderator.
Berdasarkan susunan acara, selain Asvi, para pembicara pada simposium itu antara lain Todung Mulya Lubis, Putu Oka Sukanta, Yosep Adi Prasetyo, Suparman Marzuki, Kiki Syahnakri, Taufik Abdullah, KH Marsudi Suhud dan Muladi.(yul)