Manado, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyebut pemerintah bisa saja meminta maaf kepada korban pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu.
"Kami terbuka untuk apapun, maaf, semuanya, kami terbuka," kata Luhut di sela-sela kunjungan kerjanya ke Manado, Sulawesi Utara, Selasa (19/4).
Namun, kata Luhut, permintaan maaf tersebut bergantung pada sebuah syarat, yakni bukti kuat untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang dipermasalahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Luhut, bukti-bukti itu harus berupa identitas korban dan pelaku, kronologi serta waktu peristiwa itu terjadi.
Luhut mengatakan, pelanggaran HAM memang sangat mungkin terjadi pada masa lalu. Namun, pemerintah belum mengetahui bentuk dan bagaimana kejadian itu berlangsung.
"Mau minta maaf ke siapa kalau belum jelas," kata Luhut.
Luhut menuturkan, pemerintah saat ini sedang menunggu hasil rekomendasi Simposium Tragedi 1965 yang digelar Senin dan Selasa ini.
Luhut menyatakan, pemerintah akan memprioritaskan penyelesaian kasus 1965 dibandingkan kasus pelanggaran HAM lain. Setelah kasus 1965, pemerintah, kata Luhut, akan menangani kasus-kasus lainnya.
"Karena 1965 ini paling sulit," ujar Luhut.
Tujuh kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang ada di daftar pemerintah adalah Tragedi 1965, Peristiwa Talangsari, kasus Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, penembakan misterius, penghilangan orang secara paksa serta dua kasus di Papua, yakni Wamena dan Wasior.
"Sampai kasus Papua juga kalau bisa tahun ini selesai, semuanya kita selesaikan," kata Luhut.
(abm)