Jakarta, CNN Indonesia -- Forum Silaturahmi Anak Bangsa dengan dukungan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan serta Komnas Hak Asasi Manusia akan menggelar Simposium Nasional Tragedi 1965 di Jakarta, pada 17 dan 18 April mendatang.
Melalui forum tersebut, mereka ingin memunculkan solusi untuk peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang tidak kunjung selesai tersebut.
Ketua Panitia Pengarah Simposium Agus Widjojo memaparkan, forum itu akan mengungkap Tragedi 1965 dengan pendekatan sejarah. Menurutnya, sudut pandang tersebut objektif karena berlandaskan fakta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka yang punya keterkaitan langsung dengan Tragedi 1965 dan pakar bisa memberikan perspektif, baik sejarah, kultural dan psikoanalisis," kata Agus saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (14/4).
Agus menilai, pendekatan sejarah lebih mudah dilakukan dibandingkan menggelar proses yudisial. Sudut pandang sejarah, menurutnya, dapat menjadi dasar rekonsiliasi yang digagas pemerintah.
"Hal ini sangat berarti bagi rekonsiliasi nasional," ucapnya. Agus berkata, pihaknya akan menyerahkan hasil diskusi simposium dan pengungkapan Tragedi 1965 kepada pemerintah.
Dihubungi terpisah, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto berharap simposium itu dapat menghasilkan
legal umberella yang berujung pada rehabilitasi kepada para korban.
"Rehabilitasi umum itu harus diperkuat. Dari situ, nanti solusi lainnya dapat berkembang," kata dia, menanggapi proses penegakan hukum Tragedi 1965 yang jalan di tempat.
Agus mengatakan, sejumlah pihak memang resisten dengan wacana simposium itu. Namun, panitia simposium berjanji akan mengundang seluruh pihak yang berkepentingan pada Tragedi 1965.
"Tidak mudah mengajak semua komponen masyarakat untuk memiliki pikiran yang sejalan dan bekerja sama secara positif untuk simposium," tuturnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menargetkan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat selesai awal Mei mendatang.
"Kami harap tanggal 2 Mei sudah bisa tuntas," ujarnya pertengahan Maret lalu.
Luhut menegaskan, metode penyelesaian yang dipilih pemerintah adalah pendekatan non yudisial atau rekonsiliasi. Ia beralasan, penegakan hukum atas kasus-kasus itu sudah tak mungkin dilakukan.
Luhut menyebut pemerintah akan sulit untuk memenuh permintaan pemulihan nama baik dan ganti rugi yang diajukan keluarga korban. Ia berkata, tidak terdapat alat bukti yang dapat menjadi dasar permintaan tersebut.
Untuk mewujudkan target penyelesaian kasus pelanggaran HAM, kata Luhut, pemerintah akan menyelenggarakan sebuah forum publik April ini.
Tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang masuk dalam daftar penyelesaian pemerintah adalah Tragedi 1965, Peristiwa Talangsari, kasus Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, penembakan misterius, penghilangan orang secara paksa serta dua kasus di Papua, yakni Wamena dan Wasior.
(abm)