Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat mengapresiasi kerja Kementerian Luar Negeri, Badan Intelijen Negara, dan TNI yang berhasil mengupayakan pembebasan sepuluh Warga Negara Indonesia dari penyanderaan kelompok bersenjata Abu Sayyaf di Jolo, Sulu, Filipina.
Komisi I DPR yang membidangi pertahanan, luar negeri, dan intelijen menilai langkah pemerintah dan militer Indonesia sudah tepat dalam menyikapi masalah penyenderaan itu. “Ini bentuk keberhasilan diplomasi politik kita dengan pemerintah Filipina,” kata anggota Komisi I DPR Syaifullah Tamliha kepada CNN Indonesia.com, Minggu (1/5).
Syaifullah mengatakan keberhasilan melalui jalur diplomasi itu tak lepas dari sinergi yang baik antara Kemenlu, BIN, dan TNI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Upaya diplomasi yang selama ini dilakukan telah membuahkan hasil dan cara tersebut sebagai satu-satunya jalan keluar terbaik yang bisa ditempuh pemerintah RI,” ujarnya.
Syaifullah mengatakan secara konstitusi Indonesia tidak memiliki perjanjian dengan pemerintah Filipina untuk bisa melakukan intervensi secara militer. “Kita tidak bisa masuk ke wilayah Filipina untuk membebaskan secara langsung WNI yang disandera,” tuturnya.
Menurut Syaifullah penggunaan cara militer untuk membebaskan sandera rawan karena bakal terjadi kontak senjata yang bisa mengakibatkan korban jiwa di pihak tentara dan sandera. “Kepentingan kita kan yaitu bagaimana para sandera bisa dibebaskan dengan cara yang baik,” ujarnya.
Syaifullah menepis bila pemerintah RI dinilai lamban dalam upaya membebaskan para sandera. “Tidak lama juga justru lebih cepat dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia dan Kanada,” ucapnya.
Anggota DPR dua periode dari Partai Persatuan Pembangunan itu memandang keberhasilan pembebasan sandera tersebut juga tak lepas dari faktor masih serumpun dan adanya kesamaan dalam beragama. “Dua faktor itu juga mempengaruhi sehingga bisa lebih mudah dibebaskan,” kata dia.
Lebih jauh Syaifullah mengatakan bahwa dalam upaya pembebasan para sandera pemerintah RI tidak akan pernah mau membayar uang tebusan kepada pihak penyandera. “Kita tidak ada toleransi sedikitpun dengan pihak penyandera yang meminta uang tebusan,” ujarnya.
Menurut dia kalau pun misalnya pihak perusahaan tempat para sandera itu bekerja ikut mengeluarkan dana, uang tersebut bukan untuk membayar tebusan ke pihak penyandera. “Uang itu untuk membantu usaha aparat intelijen dalam upaya membebaskan sandera,” kata Syaifullah.
Adapun mengenai masih adanya empat WNI dari anak buah kapal lainnya yang menjadi sandera di Tawi-Tawi, Filipina, Syaifullah mendorong Presiden Joko Widodo untuk berbicara dengan para pemimpin ASEAN. “Indonesia sebaiknya membuat perjanjian kerja sama militer atau pertahanan dengan semua negara di ASEAN seperti yang sudah kita lakukan dengan China dan Jerman,” tuturnya.
(obs)