Jakarta, CNN Indonesia -- Penerapan hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual anak dan perempuan masih terus menjadi pro dan kontra. Perbedaan sudut pandang tidak hanya terjadi di ranah publik tetapi juga mengemuka dalam rapat terbatas pemerintah.
Ketua KPAI Asrorun Ni'am Sholeh mengatakan dalam rapat terbatas yang diadakan di Kantor Presiden, Rabu (11/5) lalu, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menjelaskan terdapat ketidaksetujuan penerapan kebiri terutama dari beberapa komponen tenaga kesehatan.
Padahal, jika hukuman kebiri jadi diterapkan, tenaga kesehatan menjadi ujung tombak pelaksana hukuman yang rencananya dilakukan secara kimiawi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada dinamika terjadi soal kebiri (dalam ratas)," kata Asrorun di Jakarta, Kamis (12/5).
Sementara itu, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, ujarnya, mendorong adanya penerapan kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual. Khofifah sempat mengatakan pemberatan hukuman bagi predator anak seperti kebiri sudah dilakukan banyak negara, di samping hukuman sosial.
Menurut Khofifah, hukuman kebiri dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan bisa dilakukan dengan berbagai cara mulai bedah saraf libido, suntik atau mengoles dengan minuman.
Asrorun mengatakan masalah hukuman kebiri muncul sebagai salah satu pilihan hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual. "Nah, tugas kami adalah memberikan ruang dan pilihan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, kebiri menjadi salah satunya," ujar Asrorun.
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan hukuman tambahan akan diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, hukuman tambahan bersifat tidak wajib bagi pelaku.
"Kalau hakim melihat anak ini paedofil atau potensial paedofil, ya sudah kasih hukuman tambahan, seperti kebiri," katanya.
Lebih jauh, Asrorun menjelaskan dalam rapat tersebut, Presiden Joko Widodo sempat bertanya bagaimana mekanisme untuk mengatur pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual anak. Lalu, muncul dua opsi dalam rapat. Opsi pertama dilemparkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang menyarankan revisi UU Perlindungan Anak sebagai solusi. Opsi kedua datang dari KPAI yang menegaskan revisi akan memakan waktu sehingga Perppu menjadi pilihan jangka pendek.
"Presiden kemudian memutuskan pemberatan hukuman dilakukan melalui Perppu," kata Asrorun.
Di akhir rapat, ujarnya, rapat terbatas memutuskan pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual anak melalui Perppu dengan bentuk pidana penjara maksimal 20 tahun, seumur hidup hingga hukuman mati. Serta, katanya, ada hukuman tambahan yakni hukuman kebiri dan pemberian chip bagi pelaku kejahatan seksual anak.
Sementara itu, aktivis dan penggiat isu anak menilai peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) soal perlindungan kekerasan seksual anak tidak cukup kuat untuk menjadi payung hukum. Revisi Undang-undang perlindungan anak dan kekerasan seksual diminta untuk didorong sebagai prioritas pemerintah.
Pendamping hukum dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar Siti Sapurah mengatakan pihaknya menginginkan agar pemerintah terus mendorong revisi UU Perlindungan anak serta RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Perppu itu adalah pengganti UU. Untuk sementara tidak apa-apa karena UU lama, tapi untuk jangka panjang revisi UU Perlindungan Anak dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi yang utama," kata pendamping hukum kasus Angeline tersebut dihubungi CNNIndonesia, Kamis (12/5).
Perempuan yang akrab dipanggil Ipung tersebut menjelaskan keberadaan Perppu, yang dikeluarkan langsung oleh Presiden, hanya bersifat sementara. Perppu bisa dengan mudah diganti jika pemerintahan berganti pula. Oleh karena itu, dia menilai revisi UU, sebagai bagian proses jangka panjang, penting untuk menjadi payung hukum perlindungan anak dari kasus kekerasan seksual.
(utd)