Jakarta, CNN Indonesia -- Fobia atas kebangkitan Partai Komunis Indonesia maupun paham komunisme yang belakangan muncul dinilai omong-kosong oleh Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi. Ia berpendapat hal itu sulit dibuktikan kebenarannya.
Selama ini, kata Hendardi, tak ada tanda-tanda yang menunjukkan indikator kebangkitan PKI. Penangkapan terhadap pengguna dan penyebar atribut palu-arit kerap tak diverifikasi. Aparat menurutnya sukar membuktikan keterlibatan mereka sebagai pengikut komunis.
"Kalau betul-betul ada kebangkitan komunisme atau PKI, seharusnya intelijen Polri, tentara, dan BIN bisa menunjukkan indikator itu dan memverifikasinya," kata Hendardi kepada CNNIndonesia.com di kantornya, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aktivis hak asasi manusia itu menilai situasi tersebut tak terjadi secara tiba-tiba, melainkan sengaja diciptakan. Hendardi menduga, skenario membangkitkan rasa takut yang berlebihan atas komunisme dibuat untuk menggagalkan penyelesaian kasus pembantaian massal periode 1965-1966.
"Ini mengada-ada karena sebetulnya ada pihak yang tidak menginginkan kasus pelanggaran HAM masa lalu, tertutama Tragedi 1965, diselesaikan," kata Hendardi.
Jika penyelesaian Tragedi 1965 berhasil dilakukan, Hendardi menduga ada pihak-pihak yang terganggu kepentingannya. Oleh karena itu, ujarnya, propaganda kebangkitan komunisme selalu dimunculkan setiap ada usaha penyelesaian Tragedi 1965.
"Jadi ini adalah 'hantu gentayangan' yang dipakai secara rutin untuk menakuti masyarakat ketika ada upaya dan aspirasi masyarakat yang kuat dalam mendorong penyelesaian kasus 1965," ujar Hendardi.
Pengekangan melawan konstitusiIa mengatakan, Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1996 tentang perubahan Pasal 107 KUHP selalu dijadikan dasar hukum untuk memberangus PKI dan penyebaran paham komunisme.
Namun, Hendardi mengingatkan, penggunaan kebijakan itu secara membabi-buta akan mengganggu iklim demokrasi, kebebasan sipil dalam berekspresi, serta hak asasi manusia.
Kebijakan tersebut pun bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang mengatur kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpikir. Bahkan, kata Hendardi, segala aturan yang intinya melarang komunisme bisa dicabut karena bertentangan dengan konstitusi.
"Memang bertentangan karena belum dicabut. Tapi ini soal politik. Ketetapan-ketetapan yang bertentangan dengan konstitusi seharusnya sudah diamandemen, dicabut, karena (semua aturan hukum) harus sejalan dengan konstitusi," kata Hendardi.
Dia menilai banyak pihak yang berusaha menggagalkan penuntasan Tragedi 1965, termasuk mereka yang saat ini duduk di lingkaran pemerintahan.
Meski Presiden Jokowi dinilai memiliki itikad untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, baik melalui Nawacita maupun penyelenggaraan Simposium Nasional 1965, di sisi lain resistensi dari pihak-pihak di lingkungan pemerintahan juga amat besar. Mereka seringkali mencoba membelokkan tujuan penyelesaian itu.
"Sekalipun rezim sudah berganti, orang masa lalu masih juga hidup dan berkuasa," kata Hendardi.
Setara Institute pun meminta Jokowi segera bersikap tegas kepada para menterinya dalam menyusun skema penuntasan pelanggaran HAM 1965. Ketegasan itu diperlukan agar para pembantu presiden tidak bertindak secara serampangan merespons situasi tersebut.
"Jokowi sebaiknya segera bersikap sehingga dinamika dan kohesi sosial tidak rusak akibat propaganda yang tidak berdasar," kata Hendardi.
Ia mengatakan, fobia atas komunisme akan terus didaur ulang dan menghantui pikiran masyarakat selama tidak ada sikap tegas dari Presiden Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM Tragedi 1965.
Kemarin, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta masyarakat untuk berhati-hati dengan dugaan penyebaran komunisme gaya baru. Sehari sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan PKI secara ideologis tak boleh ada lagi di Indonesia. Pun Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pengguna atribut palu-arit harus ditangkap.
(agk)