Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkan negara dan masyarakat bahwa telah terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya etnis Tionghoa, dalam Tragedi Mei 1998 di Jakarta.
Komnas Perempuan sendiri, kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, merupakan lembaga hak asasi manusia nasional yang lahir karena Tragedi Mei 1998. Komnas ini terbentuk atas dorongan masyarakat, terutama perempuan, sebagai respons atas temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 atas peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa.
Temuan dan dokumentasi Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual Mei '98 kembali menegaskan hal-hal yang menjadi temuan TGPF dan Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan yang juga hadir di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Laporan tersebut membahas) tentang adanya perempuan korban kekerasan seksual dalam bentuk serangan seksual yang beragam saat Tragedi Mei '98 di Jakarta, serta kota-kota besar lainnya di Indonesia," ujar Yuniyanti di Jakarta.
Fakta adanya kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 tersebut, ucap Yuniyanti, menandai keadaan politik masa Orde Baru yang disalahartikan sebagai konflik sosial.
Menurutnya, temuan TGPF 1998 menunjukkan bahwa tragedi ini terjadi secara sistematis, meluas, dan hingga kini masih menjadi tanggung jawab negara dalam penyelesaiannya sebagai bagian dari pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Keberadaan para korban beserta keluarga mereka yang mengalami trauma mendalam dan terus-menerus membungkam, kata Yuniyanti, memperkuat penyangkalan publik dan negara atas peristiwa kekerasan seksual tersebut, serta makin menjauhkan pengungkapan kasus ini dari tahun ke tahun.
"Peringatan atas tragedi ini selalu dilakukan oleh berbagai elemen sebagai upaya merawat ingatan publik atas tragedi yang menimbulkan koban. Tetapi upaya ini belum mampu mendorong langkah maju bagi pengungkapan peristiwa kekerasan seksual yang terjadi, bahkan nyaris dilupakan," katanya.
Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, Indriyati Suparno, mengatakan Komnas Perempuan bertanggung jawab menjaga ingatan kolektif, khususnya kepada negara, bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terhadap perempuan korban kekerasan seksual.
Komnas Perempuan berharap dengan adanya pengakuan negara bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti yang dinyatakan Presiden Jokowi pada 10 Mei 2016 yang menyebut kekerasan seksual dapat digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), maka negara tidak boleh lagi mengingkari kekerasan seksual yang terjadi dalam rangkaian Tragedi Mei 1998.
"Sikap negara ini hanya akan menyebabkan impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM. Sementara hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan, semakin jauh terabaikan," ujar Indriyati.
Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan bahwa dalam upaya pengungkapan kebenaran, Komnas Perempuan berusaha mendokumentasikan peristiwa kekerasan seksual yang terjadi dalam tragedi ini melalui Pelapor Khusus Kekerasan Seksual Mei '98, dan telah menyampaikan laporan tersebut kepada para pengambil kebijakan.
"Langkah selanjutnya adalah membangun memori tentang peristiwa tersebut untuk memelihara ingatan bangsa bahwa sejarah Tragedi Mei '98 masih menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah Indonesia, dan kekerasan seksual terhadap perempuan yang telah terjadi adalah hal yang paling sulit diakui, bahkan cenderung disangkal," kata dia.
Pada Mei 1998, kerusuhan pecah di sejumlah daerah di Indonesia, khususnya Jakarta. Kerusuhan antara lain dipicu Tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Ujung dari rangkaian peristiwa itu ialah jatuhnya Presiden Soeharto dan dimulainya era Reformasi di Indonesia.
(agk)