Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat, pemerintah menerbitkan larangan edar terhadap 22 buku setelah era reformasi tahun 1998. Sebelumnya, pada era Orde Baru
179 buku dilarang beredar.Lembaga masyarakat sipil di bidang hak asasi manusia itu menyatakan, pemerintah harus menghentikan pemberangusan buku yang dituding berisi paham-paham terlarang dalam dua pekan terakhir.
Wahyudi Djaffar, peneliti Elsam, mengatakan pelarangan buku paling masif terjadi tahun 1985. Kala itu, kata dia, pemerintah menerbitkan larangan terhadap 30 judul buku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sembilan tahun setelahnya, jumlah pelarangan buku berfluktuasi, antara lima hingga 14 buku per tahun. Data Elsam menunjukkan, pelarangan buku terbanyak muncul tahun 1994, yakni 14 judul.
"Selama Orde Baru pelarangan buku dilakukan menyusul penerapan asas tunggal Pancasila pada era 1980-an," ujarnya pada keterangan tertulis, Selasa (17/5) kemarin.
Wahyudi memaparkan, pasca reformasi, pemerintah kembali melarang dua buku beredar tahun 2006. Melalui Kejaksaan Agung, setahun kemudian, pemerintah tidak memperbolehkan 14 buku disebarluaskan ke publik.
Pelarangan itu, kata Wahyudi, berkaitan dengan Tragedi 1965.
"Sebanyak 13 dari 14 buku itu adalah buku teks pelajaran sekolah. Kejaksaan melarang hanya karena buku itu tidak mencantumkan kata ‘PKI’ di belakang istilah G30S," ucapnya.
Wahyudi mengatakan, pelarangan buku terus terjadi hingga tahun 2010 saat Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Menganggu Ketertiban Umum.
Mengutip putusan MK bernomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 itu, Wahyudi menuturkan, pelarangan buku tidak sesuai dengan prinsip negara hukum yang dianut Indonesia.
"Perbuatan yang dikategorikan melawan hukum harus didasarkan pada putusan pengadilan," kata dia.
Wahyudi berkata, pelarangan buku tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada suatu instansi pemerintah tanpa melalui putusan pengadilan.
Dalam dua pekan terakhir, apartur pemerintah di berbagai daerah, baik sipil maupun militer, menyita sejumlah buku yang mereka duga berisi komunisme, leninisme dan marxisme.
Polres Ternate dan Kodim 1501 Ternate misalnya, pekan lalu menyita buku berjudul Nalar yang Memberontak: Filsafat Marxisme dan Sains Modern karya Alan Woods dan Ted Grant, Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang, dan Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie.
Buku-buku itu disita seiring penangkapan dua pegiat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Adlun Fikri dan Supriyadi Sawai.
Ronny Agustinus dari Marjin Kiri mengatakan, penyitaan buku-buku yang dianggap kiri memang meningkat di tengah keterbukaan berpendapat yang marak belakangan ini.
Ronny menilai, pemberangusan hal-hal yang dianggap kiri di Indonesia sebenarnya terbilang aneh. "Tidak jelas asal muasalnya, yang dicari juga tidak jelas apa," kata dia.
Sejumlah toko buku terkemuka di Jakarta, berdasarkan pantauan akhir pekan lalu, juga mulai menghentikan penjualan buku berbau kiri.
Atas fenomena ini, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti akhirnya menginstruksikan jajarannya untuk tidak lagi menyita buku yang membahas ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme di toko buku, kampus, atau percetakan.
"Kami sudah sampaikan untuk tidak menyita buku di toko-toko, di kampus maupun di percetakan," kata Badrodin di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (13/5).
(abm)