Jakarta, CNN Indonesia -- “Kenapa Bapak tidak gila?”
Pertanyaan itu tiga kali dilontarkan tim psikolog universitas yang berbeda kepada Sandyawan Sumardi, Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) yang mendampingi para korban kerusuhan Mei 1998.
Kondisi kejiwaan Sandyawan jadi tanda tanya dan memancing rasa penasaran para psikolog dari beragam kampus itu, sebab dia telah melalui pengalaman berat sebagai relawan dan pendamping korban Tragedi Mei 1998.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Mereka heran dengan apa yang telah saya hadapi. Saya menghadapi korban pemerkosaan massal, juga mengangkat korban hangus terbakar,” kata Sandyawan kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/5).
Sandyawan berkata, “Saya tidak tahu kalau saya tidak gila. Yang menentukan saya gila atau tidak gila ialah orang-orang sekitar saya.”
Menghadapi Tragedi Mei yang luar biasa keji memberikan Sandyawan pengalaman spiritual, dan membuatnya memandang kehidupan sebagai hal absurd.
“Itu membuat saya lebih menghargai hidup dan berbuat yang terbaik buat sesama,” kata dia.
Ketika menghadapi peristiwa mencekam Mei 1998, meski berat secara fisik dan emosional, Sandyawan dan timnya bekerja terus mengorganisasi perlindungan kepada korban pemerkosaan dan mendata korban kerusuhan.
“Kami sudah terlatih sehingga bisa segera bekerja meskipun situasi sangat berat,” kata Sandyawan.
 Sandyawan Sumardi memetik banyak pelajaran hidup dari Tragedi Mei 1998 sungguhpun gila semua kegiatan yang ia jalani. (CNN Indonesia/Yuliawati) |
Pengalaman sebagai aktivis telah dijalani Sandyawan sejak bergabung dengan Institut Sosial Jakarta pada 1989. Dia mulai disorot ketika membantu aktivis yang dituduh terlibat dalam peristiwa penyerangan kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, 27 Juli 1996.
Ketika itu Sandyawan dituduh melindungi orang-orang yang sedang diburu Kepolisian. Setelah 24 kali sidang, dia dibebaskan dari tuduhan.
Pengalaman pada 1996 itu membuatnya membentuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan sebagai organisasi yang memberikan pendampingan kepada mahasiswa dan kaum miskin perkotaan.
Ketika meletus Tragedi 1998, Sandyawan dan kawan-kawannya di TRK tak gamang menghadapi situasi dan kondisi yang kacau-balau.
Pada 12 Mei 1998, demonstrasi besar berakhir dengan penembakan empat mahasiswa Trisakti. Sehari kemudian meledak kerusuhan serentak di penjuru Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Di sela-sela kerusuhan, merebak informasi terjadi pemerkosaan massal.
“Kami mendapatkan kabar adanya korban pemerkosaan pada malam hari setelah penguburan aktivis mahasiswa 1998,” kata Ita Fatia Nadia kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/5).
Ita kala itu menjabat sebagai Direktur Kalyanamitra, lembaga swadaya masyarakat yang menerima pengaduan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan.
Sejak mendengar adanya peristiwa pemerkosaan, TRK membentuk Divisi Kekerasan terhadap Perempuan. Ita ditunjuk sebagai koordinator.
Kantor Kalyanamitra di Jalan Kaca Jendela, Kalibata, Jakarta Selatan disulap menjadi posko korban pemerkosaan. Tim mengumumkan lewat media massa agar siapapun yang mengetahui peristiwa pemerkosaan, menghubungi nomor telepon kantor itu.
“Kami membuka tiga nomor
hotline. Hampir setiap saat telepon berdering,” kata Ita.
Serba rahasiaIta sebagai koordinator bekerja sama dengan komunitas lintas agama, baik yang berasal dari Katolik, Kristen dan Buddha. Para komunitas itu memberikan pendampingan (konselor) dan perlindungan di rumah aman bagi para korban pemerkosaan.
“Ketika ada korban pemerkosaan, kami menanyakan kepada korban untuk memilih perlindungan di rumah aman yang mana,” kata Ita.
Menurut Ita, korban pemerkosaan benar-benar dalam kondisi rapuh. Hal utama yang mereka butuhkan adalah perlindungan keamanan. Tim pun memutuskan informasi mengenai rumah aman bersifat tertutup.
“Kami betul-betul menjaga kerahasiaan. Karena saya koordinator, hanya saya yang tahu di mana saja lokasi rumah aman itu,” kata dia.
Demi menjaga kerahasiaan, Ita yang pernah bergabung dengan Tim Gabungan Pencari Fakta selama sebulan memilih mengundurkan diri. Alasannya, salah satu anggota TPGF yang berasal dari kepolisian kerap mendesak dia membuka data lokasi rumah aman yang ditempati para korban pemerkosaan.
“Buat saya yang terpenting adalah perlindungan keamanan korban. Jadi saya memilih mundur,” kata Ita.
Berdasarkan hasil penelusuran ke lapangan, TRK mencatat ada 1.190 korban meninggal akibat kerusuhan. Sementara menurut catatan Divisi Kekerasan terhadap Perempuan, sebanyak 153 orang menjadi korban pemerkosaan dan 20 orang di antaranya meninggal dunia.
Korban sebagian besar berasal dari etnis Tionghoa yang mengalami pemerkosaan secara massal.
“Sebagian kasus pemerkosaan adalah
gang rape di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. Kebanyakan pemerkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain,” bunyi laporan tim Divisi Kekerasan terhadap Perempuan.
Penderitaan teramat berat membuat banyak korban pemerkosaan bungkam, mengubah identitasnya, dan meninggalkan Indonesia untuk mencari hidup baru di negeri asing.
(yul/agk)