Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang marak terjadi di Indonesia amat bertentangan dengan niat negara melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Padahal Indonesia ialah salah satu negara yang ikut meratifikasi Konvensi Hak Anak atau
Convention on the Rights of the Child pada 5 September 1990 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak.
Dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia berdasarkan asas
pacta sunt servanda (itikad baik) berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak, khususnya memenuhi hak-hak anak secara umum, termasuk memberikan perlindungan dan penghargaan kepada anak agar terhindar dari kekerasan dan pengabaian dalam lingkungan sosial.
Meski demikian, nyatanya masih banyak kasus kekerasan, penganiayaan, sampai kejahatan seksual yang terjadi dan melibatkan anak-anak sebagai korbannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu dari banyak kasus kekerasan seksual pada anak yang mengundang perhatian masyarakat ialah Robot Gedek tahun 1994-1996. Seorang gelandangan bernama Siswanto atau Robot Gedek terbukti melakukan sodomi terhadap 12 anak laki-laki dan membunuh mereka.
Kasus itu menyentak publik dan menyadarkan betapa peran negara minim dalam melindungi anak-anak. Sebagai upaya penguatan hukum perlindungan anak, pemerintah kemudian menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU itu disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Pasal 81 ayat 1 UU tersebut mengatur ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan minimal tiga tahun, serta denda maksimal Rp300 juta bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Namun UU dan ancaman sanksi tak lantas mengurangi tingkat kasus kekerasan atas anak. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2014 justru menunjukkan peningkatan pelanggaran hak anak sepanjang tahun 2011 hingga 2013.
Dari sekitar 500 kasus pada 2010, meningkat menjadi 1.500 kasus pelanggaran hak anak pada tahun 2013.
Dari 1.500 kasus tersebut, 525 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pada 2010 misalnya, di Magelang dan Indramayu mencuat kasus sodomi dengan tujuh anak sebagai korban.
Baekuni ‘Babeh’ terbukti telah menyodomi tujuh orang anak. Dia mengaku melakukan kekerasan seksual kepada anak sejak 2007. Baekuni juga memutliasi para korbannya untuk menghilangkan jejak kejahatan dia.
Kasus-kasus lain yang menyita perhatian publik ialah pemerkosaan oleh 13 atlet Banten terhadap bocah SD, dan belakangan kasus tindakan asusila di Jakarta International School pada April 2014.
Kasus-kasus itu dan deretan perkara kekerasan seksual pada anak lainnya membuat pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
UU Nomor 2 Tahun 2002 memuat beberapa perubahan atas aturan sebelumnya, salah satunya penegasan dan penambahan sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Pasal 81 UU tersebut menyebut, para pelaku dapat dikenai pidana penjara paling singkat lima tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
UU ini juga mempertegas hukuman bagi para pelaku kejahatan seksual yang merupakan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik. Bagi mereka, dikenakan pidana dengan tambahan satu pertiga dari hukuman semula.
UU Nomor 2 Tahun 2002 pun mengakomodasi penegasan perlindungan hukum bagi anak-anak penyandang disabilitas.
Meski ada penguatan dari segi hukum, tak ada dampak signifikan yang ditimbulkan. Kekerasan seksual atas anak masih marak.
Belum lama ini terjadi pemerkosaan terhadap seorang siswi SMP oleh 14 pemuda di Bengkulu. Siswi itu tewas mengenaskan. Ia dicegat 14 pemuda mabuk , diperkosa, dan dibunuh pada 2 April.
Tragisnya kasus itu mendorong aksi solidaritas muncul spontan di berbagai kota. Pemerintah pun didorong untuk menghukum seberat-beratnya para pemerkosa siswi itu.
Ini menjadi titik tolak bagi pemerintah untuk mengkaji ulang UU Perlindungan Anak. Pemerintah kemudian mengusulkan perubahan UU dengan menerapkan sejumlah hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Kemarin, Presiden Jokowi pun menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu itu memuat pemberatan hukuman bagi pemerkosa anak, mulai pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, penjara seumur hidup, hukuman mati, hingga penambahan hukuman seperti kebiri kimia, pengungkapan identitas, dan pemasangan alat deteksi elektronik atau cip pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
(agk)