Kriminolog Tak Setuju Jokowi Terbitkan Perppu soal Kebiri

Resty Armenia | CNN Indonesia
Kamis, 26 Mei 2016 08:09 WIB
Adrianus Meliala berkata, yang salah pada pelaku kejahatan seksual itu pikiran atau otaknya, bukan biologisnya, karena biologis menuruti perintah otak.
Perppu Perlindungan Anak memuat hukuman kebiri kimia pada pelaku kekerasan seksual terhadal anak. (CNN Indonesia/Fajrian)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kriminolog Adrianus Meliala tak setuju dengan keputusan Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perppu yang akan segera dikirimkan dan dimintakan persetujuan ke DPR dalam waktu dekat itu mengatur soal hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak. Pemerintah beralasan, hukuman kebiri perlu diberikan karena banyak predator seks yang kembali melakukan kejahatan serupa setelah keluar dari penjara.

Menurut Adrianus, para kriminolog berpandangan bahwa yang salah pada pelaku kejahatan seksual adalah pikiran atau otaknya, bukan biologisnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sehingga yang perlu dihukum adalah otak atau pikirannya, bukan biologisnya. Biologis hanya memenuhi perintah otak. Jadi kenapa diberi hukuman biologis? Kan yang ngeres otaknya," ujar Adrianus kepada CNNIndonesia.com, semalam.

Dengan menjalankan hukuman kebiri, kata dia, pemerintah jadi harus memikirkan lebih banyak hal tentang teknis pelaksanaan hukuman itu seperti yang berkenaan dengan dana, teknis menyuntik, penyediaan dan pembelian bahan kimia, pemasangan cip di tubuh pelaku, dan lain-lain.

"Saya tidak terbayang bagaimana sulit teknisnya nanti. Indonesia kan sangat luas dan tidak semuanya seperti Jakarta. Banyak tempat terpencil yang jauh dari fasilitas kesehatan namun kejahatan terjadi di mana-mana. Kejahatan seksual kan juga banyak terjadi di wilayah-wilayah terpencil," kata Adrianus.

Apalagi, ujarnya, negara tengah melakukan efisiensi anggaran dengan memangkas dana di beberapa sektor seperti pendidikan dan pembangunan infrastruktur.

"Maka akan jadi rusuh (jika hukuman kebiri diterapkan), karena ada pos anggaran baru," ujar Adrianus.
Ia berpendapat, pemberian alat kimia ke dalam tubuh pelaku, melakukan monitoring secara berkala, dan teknis lainnya adalah kebijakan yang hanya terdengar bagus jika dipaparkan di bangku perkuliahan, namun sangat sulit diterapkan secara langsung di lapangan.

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia ini menilai, hukuman yang paling cocok untuk pelaku kejahatan seksual adalah hukuman inkapasitasi (pemenjaraan), karena dunia saat ini telah menjauhi hukuman yang bersifat intrusif seperti menanamkan benda asing ke dalam tubuh seseorang.

"Dibandingkan kebiri, masih jauh lebih baik inkapasitasi, pengurungan," kata Adrianus.

Ia mengatakan pembinaan, pelatihan, konseling, dan terapi kepada pelaku kejahatan seksual tetap harus diberikan secara kontinyu setelah si penjahat keluar dari penjara, pun meski dia sudah bisa mengendalikan syahwatnya.

"Selama ini mereka (pelaku kejahatan seksual) tidak diberi konseling dan terapi ketika dikurung di lembaga pemasyarakatan. LP hanyalah lembaga inkapasitasi orang, karena mereka tidak ada dana untuk memberikan terapi. Pemerintah hanya bisa menahan orang," kata dosen Departemen Kriminologi Universitas Indonesia itu.

Panik

Adrianus mengatakan, seharusnya pemerintah juga mempertimbangkan rentang waktu kasus-kasus kejahatan seksual, sehingga tidak hanya memainkan kartu kebijakan yang bernuansa hukuman.

"Karena (kebijakan soal pemberian hukuman) itu sebenarnya paling akhir. Jadi itu seakan membenarkan dugaan orang bahwa kita ini mengesahkan Perppu karena panik, bukan karena telah mempertimbangkan kebijakan ini secara matang," katanya.

Kemarin setelah menandatangani Perppu Perlindungan Anak, Presiden Jokowi mengatakan bahwa peraturan itu dikeluarkan menyusul peningkatan signifikan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia saat ini.

"Butuh penanganan luar biasa karena mengancam, membahayakan jiwa dan tumbuh kembang anak. Kejahatan itu mengganggu rasa kenyamanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat," kata Jokowi di Istana Negara.
Perppu tersebut memuat pemberatan dan penambahan hukuman, mulai dari hukuman pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, hukuman penjara seumur hidup, dan hukuman mati.

Penambahan pidana yang dimuat dalam Perppu itu melingkupi kebiri kimia, pengungkapan identitas, dan pemasangan alat deteksi elektronik atau cip kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

"Ini memberikan ruang kepada hakim untuk menghukum seberat-beratnya sehingga memberikan efek jera," ujar Jokowi.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menuturkan, Perppu tidak akan berlaku surut atau retroaktif terhadap terpidana kekerasan seksual kepada anak yang sebelumnya telah dijatuhi vonis. (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER