Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo menyebut rekomendasi simposium tentang Peristiwa 1965 yang diadakan di Balai Kartini, Jakarta, pekan ini, memiliki satu tujuan serupa dengan rekomendasi dari simposium Tragedi 1965 yang digelar Kemenko Polhukam.
Agus menuturkan, pemerintah akan menggunakan dua rekomendasi itu untuk merumuskan penyelesaian kasus hak asasi manusia masa lalu.
"Pada akhirnya semua menuju pada muara yang sama. Nanti semua menuju pada satu titik," kata Agus saat ditemui usai menghadiri simposium nasional bertajuk Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain, Rabu (1/6).
Agus berkata, pemerintah akan mempertimbangkan semua masukan untuk menyelesaikan Tragedi 1965 yang masuk dalam daftar pelanggaran HAM. Menurutnya, semua pihak berhak mengajukan saran terkait penyelesaian kasus yang paling berkeadilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agus merupakan Ketua Panitia Pengarah simposium nasional bertajuk Membedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan. Dia menilai, perbedaan pendekatan yang diambil panitia dua simposium itu justru akan memperbanyak solusi atas kasus 1965.
Pada simposium di Aryaduta, panitia mengambil pendekatan kesejarahan. Sementara panitia simposium di Balai Kartini mengambil pendekatan ideologi.
"Itu akan memperkaya khasanah pemerintah membuat kebijakan dengan latar belakang yang lebih lengkap," katanya.
Agus mengatakan, selama ini rekomendasi hasil simposium di Aryaduta dianggap hanya mendorong pemerintah untuk meminta maaf kepada korban Tragedi 1965. Dia menyatakan hal itu tidak benar.
"Titik rekomendasi itu bukan seperti ujian di sekolah, ya atau tidak. Ini adalah gagal paham terhadap sebuah konsep yang utuh, sehingga melihatnya hanya hitam-putih," katanya.
Diberitakan sebelumnya, Agus mewakili panitia Simposium Tragedi 1965 beberapa kali telah bertemu Menko Polhukam Luhut Pandjaitan. Mei lalu, Agus pun telah menyerahkan rekomendasi yang dihasilkan simposium tersebut.
(abm)