Jakarta, CNN Indonesia -- Ada ungkapan, pepatah Arab yang berarti, pakaianmu membuatmu mulia sebelum engkau bercengkerama, duduk dalam majelis bersama yang lain. Tetapi kalau nanti sudah duduk di majelis dan terlibat dalam pembicaraan dengan orang-orang, maka ilmumu yang akan memberikan kemuliaan kepadamu.
Seringkali orang-orang lebih mementingkan pakaian atau sisi luar ketimbang isi. Maka itu banyak orang memakai simbol-simbol kemuliaan yang sebetulnya hanya ada pada pakaian, sementara kualitas yang sebenarnya tak ada yang tahu. Rasulullah SAW sudah mengingatkan melalui sabdanya, "Allah tidak melihat bentuk luarmu atau harta bendamu, Allah melihat hatimu dan amal perbuatanmu."
Dalam keseharian, ada simbol-simbol pakaian tertentu yang dinisbatkan dengan status atau profesi. Misal untuk kyai, dinisbatkan dengan memakai sorban atau jubah. Padahal inti dari status kyai adalah ilmu dan amal, bukan soal pakaian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada seorang kyai yang sangat sederhana dan sangat saya kagumi, yaitu almarhum Kyai Muchid Muzadi dari Jember, Jawa Timur. Beliau kyai yang sangat alim dan tinggi ilmunya. Beliau sangat rendah hati, menghindari simbol kyai.
Beliau tidak pernah memakai baju putih, sorban, dan lainnya. Beliau mengatakan, “Saya ini santri seumur hidup. Saya tidak pernah merasa menjadi kyai.”
Suatu hari beliau diundang ke pengajian, dan datang dengan pakaian seperti orang awam: memakai celana panjang warna hitam dan baju batik. Penampilan seperti itu membuat panitia tidak tahu bahwa beliau adalah kyai yang diundang.
Seorang panitia bertanya ketika melihat Kyai Muchid datang, “Dari mana Pak?”
“Dari Jember,” Kyai Muchid menjawab singkat.
“Wah jauh sekali. Kok tahu di sini ada pengajian? Ya sudah silakan duduk,” panitia menjawab.
Kyai Muchid duduk di kursi barisan belakang karena dianggap sebagai tamu biasa.
Hingga agak malam, pengajian urung dimulai, panitia terlihat mondar-mandir seperti orang bingung, sampai akhirnya tuan rumah di pesantren keluar dan menengok ke jalan karena seperti ada orang yang ditunggu tapi belum datang.
Sang tuan rumah lantas melihat Kyai Muchid duduk di bagian paling belakang, padahal beliau yang diundang untuk memberi ceramah pada pengajian hari itu.
“Ini Kyai Muchid sudah datang,” kata sang tuan rumah.
“Iya saya sudah datang dari tadi,” jawab Kyai Muchid.
“Waduh Kyai Muchid tidak pakai pakaian Kyai, jadi tidak ada yang tahu,” kata kyai pesantren yang menjadi tuan rumah.
Yang lebih lucu lagi, Kyai Mustofa Bisri ketika dulu belum sepopuler sekarang, diundang pengajian di kota. Biasanya beliau pengajian di desa-desa. Karena di kota, beliau menyesuaikan diri dengan memakai batik, celana panjang, dan sepatu.
Setiba di alamat tempat pengajian, beliau keluar dari mobil disambut panitia. Panitia mengatakan, “Waduh mohon maaf Pak. Kalau di sini tempatnya pengajian, kalau hajatan pengantin masih ke sana lagi tempatnya, masih 200 meter.”
Kyai Mustofa dikira mau datang ke undangan pernikahan, padahal mau mengisi pengajian di situ.