Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Yudisial menggelar seleksi wawancara terbuka bagi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung.
Seleksi bagi calon hakim ad hoc tipikor ini adalah pertama kali yang dilakukan oleh lembaga yang memiliki wewenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim tersebut.
Terdapat empat calon hakim yang mengikuti seleksi wawancara. Para calon yang berlatar belakang hakim ad hoc tipikor di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi ini ditanya pengetahuan seputar peradilan tipikor hingga kekayaan yang dimiliki. Pertanyaan tersebut bertujuan untuk menelusuri kemampuan dan integritas para calon hakim itu.
Salah satunya adalah calon hakim ad hoc tipikor Mangasa Manurung yang tercatat pernah memiliki transaksi dua valas pada 24 November 2011.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Panelis yang merupakan Ketua KY Sukma Violetta mengkonfirmasi transaksi tersebut pada Mangasa. Dalam catatan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik panelis, transaksi itu bernilai US$28 ribu dan US$11,5 ribu.
"Itu hanya teman saya yang minta tolong. Jadi bukan saya yang punya," kata Mangasa menjawab pertanyaan panelis di Gedung KY, Jakarta, Jumat (24/6).
Namun dari LHKPN, lanjut Sukma, hasil valas tersebut tercatat digunakan untuk membeli keperluan keluarga hingga logam mulia. Mangasa pun membantahnya.
"Tidak itu beli pakai uang saya sendiri," tegasnya.
Panelis kembali menemukan adanya transaksi bernilai besar pada 1 Februari 2014. Sukma menyebutkan Mangasa tercatat pernah meminjam uang di PT Pegadaian sebesar Rp65 juta dengan agunan emas.
Hakim ad hoc tipikor di Pengadilan Tinggi Medan itu mengakui bahwa dia beberapa kali memang meminjam uang di PT Pegadaian. Namun, menurutnya, jumlahnya tak mencapai Rp65 juta.
"Yang terakhir itu hanya Rp20 juta. Di situ sudah jelas kok laporannya," tuturnya.
Tak hanya Mangasa, calon hakim ad hoc tipikor lainnya yakni Dermawan Djamian juga ditanya seputar kekayaan yang dia miliki. Panelis menanyakan perihal Djemian yang pernah dihubungi anggota Komisi III DPR saat masih menjabat sebagai Kepala Biro Keuangan Mahkamah Agung.
Sukma menuturkan, saat itu DPR menawarkan untuk menambah anggaran sebesar Rp300 miliar untuk pengadaan mobil dinas di MA. Sebagai kompensasinya, MA mesti memberikan fee pada para anggota DPR ini.
"Oh itu kami tolak. Itu juga bukan saya sendiri tapi dengan orang MA lain saat bertemu. Memang sudah biasa MA melakukan dengar pendapat dengan DPR," ucapnya.
Lebih lanjut hakim ad hoc tipikor Pengadilan Tinggi Banten ini juga ditanya soal ketiadaan LHKPN terbaru yang dilaporkan ke KPK.
Dari catatan para panelis, LHKPN milik Dermawan adalah tahun 2011 yang diterima setelah keputusan presiden sebagai hakim ad hoc tipikor. Dia menuturkan, baru akan melaporkan kembali LHKPN apabila terpilih sebagai hakim ad hoc tipikor di MA.
"Itu kan tidak kena sanksi pidana, paling sanksi administrasi saja kalau tidak lapor. Lagian banyak kok pejabat lain malah enggak lapor kekayaan sama sekali," tandasnya.
Panelis Sukma yang juga Wakil Ketua KY menuturkan pentingnya integritas bagi semua calon hakim. Salah satunya, kata dia, memang bisa dilihat dari laporan kekayaan tersebut.
"Orang boleh punya harta berapa pun tapi harus wajar dan jelas," ucapnya.
Selain soal kekayaan, menurutnya, tak ada perbedaan materi pertanyaan pada calon hakim agung dan calon hakim ad hoc tipikor. Terlebih KY telah melakukan uji kualitas bagi tiap calon baik secara kompetensi maupun kepribadian.
"Memang banyak aspek yang dinilai tapi kami tetap menekankan pada integritas. Itu yang paling utama," katanya.
(rel)