Jakarta, CNN Indonesia -- Terungkapnya kasus produksi dan peredaran vaksin palsu yang berlangsung sejak 2003 menunjukkan ada celah lemah dalam sistem pengawasan obat di Indonesia, baik oleh pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, maupun Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
“Sistem pengawasan pemerintah harus dievaluasi lagi, diperketat pengawasan dan perizinan obat hingga peredarannya,” ujar anggota Komisi IX Bidang Kesehatan DPR Ahmad Zainuddin di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (27/6).
Kemenkes dan BPOM juga harus mengevaluasi jajaran internal mereka terkait kemungkinan keterlibatan orang dalam di kasus pemalsuan vaksin tersebut. Terlebih rentang waktu tindak kejahatan sudah berlangsung 13 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemenkes dan BPOM, kata Zainuddin, pun harus memperkuat koordinasi lintas lembaga dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. Ia yakin pemalsuan vaksin bisa berlangsung lama karena ada tenaga medis yang terlibat, baik di tingkat rumah sakit atau pusat kesehatan masyarakat.
Oleh sebab itu, ujar politikus PKS itu, Kemenkes harus mengaudit penggunaan obat dan vaksin di seluruh rumah sakit dan puskesmas di Indonesia.
“Saya khawatir kasus vaksin palsu ini hanya puncak gunung es. Di lapangan kan juga banyak obat-obat palsu beredar dan masuk ke rumah sakit. Jika yang terungkap di wilayah dekat ibu kota, bagaimana dengan di daerah? Harus dicek ke seluruh Indonesia. Bukan rahasia lagi ada bisnis haram oknum tenaga medis untuk pengadaan obat,” ujar Zainuddin.
Ia menyatakan, vaksin palsu masuk kategori pidana berat karena termasuk kejahatan kemanusiaan yang merusak generasi. Produsen hingga pengedar vaksin palsu pun menurutnya harus dihukum berat.
KriminalMenteri Kesehatan Nila F. Moelek mengatakan vaksin palsu masuk kategori kriminal. Ia pun mengancam akan memidanakan rumah sakit maupun dokter yang terbukti menggunakan vaksin palsu.
"Kalau memang jelas rumah sakit terlibat, dokter terlibat, ini bisa dipidana," kata Nila dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX di DPR.
Ia menjamin sanksi tegas akan diberikan kepada rumah sakit dan dokter yang terkait kasus vaksin palsu. Sanksi tersebut berupa pencabutan izin praktik dokter, dan penuntutan terhadap rumah sakit.
Saat ini Kemenkes masih menunggu hasil penyelidikan polisi, termasuk untuk mengetahui rumah sakit mana yang tidak mau memakai vaksin keluaran PT Biofarma –salah satu perusahan farmasi yang memproduksi vaksin di Indonesia.
Hingga saat ini Kemenkes belum dapat memastikan kandungan vaksin yang disebut palsu itu, karena BPOM masih akan melakukan uji laboratorium.
Sementara para korban yang terdampak vaksin palsu, akan diberikan vaksin ulang yang dikeluarkan PT Biofarma agar sistem kekebalan tubuh mereka kembali normal.
Pelaksana Tugas Kepala BPOM Tengku Bahdan Johar Hamid menjanjikan waktu tiga hari ke depan untuk bisa memastikan isi dan dampak pemakaian vaksin palsu.
Komisi IX memberi tenggang waktu hingga 30 Juni kepada Kemenkes untuk memberikan pernyataan resmi mengenai isi, dampak, sarana penyebaran, serta langkah-langkah yang akan diambil untuk menangani kasus beredarnya vaksin palsu di Indonesia.
(agk)