Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan masyarakat sipil yang mengatasnamakan koalisi antikatabelece melaporkan dugaan pelanggaran etik yang diduga dilakukan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan anggota Komisi I Rachel Maryam kepada Mahkamah Kehormatan Dewan.
Koalisi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch, Indonesia Budget Centre, dan Perludem ini menyorot dugaan pelanggaran etik kedua politisi Gerindra tersebut terkait surat ke kedutaan besar di Washington DC dan Paris.
"Keduanya kami duga melanggar kode etik DPR RI pasal 6 ayat 4 yang menyebutkan tentang larangan bagi anggota dewan menyalahgunaan jabatan untuk keuntungan baik keluarga maupun pribadi," kata aktivis ICW Donald Fariz di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (30/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Surat Fadli Zon bernomor 27/KSAP/DPR RI/VI/ 2016, yang menggunakan kop Sekretariat Jenderal DPR tertanggal 10 Juni 2016 ditujukan kepada KBRI di Washington DC melalui KJRI, di New York untuk penyediaan fasilitas dan pendampingan putrinya, Shafa Sabila Fadli.
Meski demikian, Wakil Ketua DPR Fadli Zon telah membantah isi surat pemberitahuan yang menjadi viral di media sosial tersebut. Menurutnya, surat tersebut dalam rangka melapor sebagai warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri.
"Kami tentu apresiasi yang disampaikan Fadli Zon. Tapi penting untuk dibuktikan dan diuji di MKD agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat," kata Donald.
Sementara, terkait Rachel yang sempat meminta fasilitas dari KBRI Paris dalam kunjungannya ke Perancis pada akhir Maret, menurut Donald juga diduga melakukan jenis pelanggaran etik yang sama dengan Fadli.
Donald berkata, pelaporan Rachel yang baru dilakukan saat ini, dikarenakan tidak inisiatif dari MKD untuk menindaklanjuti isu yang berkembang pada saat itu.
Dalam laporannya, Donald mengaku membawa bukti berupa dua surat yang berasal dari KBRI yang telah ditandatangani Sekretariat Jenderal DPR dan Rachel secara pribadi. Dia menyerahkan sepenuhnya proses dan sanksi kepada MKD. "Kami berharap tidak ada peristiwa ketiga katebelece ini," ujar dia.
Dihubungi terpisah, anggota MKD Syarifuddin Sudding mengatakan setiap laporan yang masuk ke pihaknya masih akan diverifikasi secara administrasi. Dia berkata, proses verifikasi memakan waktu paling lama dua minggu.
Sudding juga enggan berkomentar lebih jauh terkait laporan ini. Dia menuturkan masih akan mempelajari kasus ini bersama anggota hakim etik lainnya. Menurutnya, memang terdapat aturan yang melarang penggunaan jabatan untuk meminta kemudahan.
"Tapi kami lihat konteks masalahanya terlebih dahulu," ujar Sudding.
Pada Peraturan DPR Nomor 1 tentang Kode Etik DPR, pasal 6 ayat 4 menyebutkan anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, sanak famili, dan golongan.
(obs/obs)