Jakarta, CNN Indonesia -- Mabes Polri menyebut, terjadi penurunan jumlah pelanggaran disiplin anggota polisi pada semester I 2016, dibanding rentang waktu yang sama tahun lalu. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, Kamis (30/6), mengatakan penurunan jumlah pelanggaran terjadi berkat peningkatan pengawasan yang dilakukan setiap satuan kerja.
Sejak Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menjabat 17 April 2015, ada perintah untuk meningkatkan pengawasan agar kedisiplinan anggota tetap maksimal, kata Boy saat ditemui CNNIndonesia.com di kantornya, Jakarta. "Kuncinya memang mengefektifkan pengawasan. Kalau atasan bisa mengawasi dengan baik, diyakini pelanggaran yang dilakukan anak buah bisa menurun," kata Boy.
Berdasarkan data yang didapatkan dari Divisi Profesi dan Pengamanan, pelanggaran disiplin anggota Kepolisian pada semester I 2016 berjumlah 2.697 kasus. Sementara dalam rentang waktu yang sama tahun lalu, jumlah pelanggaran mencapai 3.503 kasus. Artinya, ada penurunan hingga 806 kasus pada tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru. Cuma kebetulan peningkatan kualitas pengawasan itu bagian dari program reformasi birokrasi," tutur Boy.
Dia menjelaskan, setiap pimpinan diwajibkan mengawasi langsung kinerja anak buahnya. "Pengawasan itu tidak hanya satuan kerja yang mendapatkan fungsi pengawasan seperti Itwasum, tapi juga pengawasan yang dilakukan atasan langsung," ujarnya.
Misal, kata Boy, pada satuan lalu lintas di sebuah kepolisian daerah, tidak hanya ada satu pimpinan yang mesti mengawasi semua anggotanya. Ada hierarki kepemimpinan yang terdiri atas posisi direktur, wakil direktur dan kepala subdirektorat.
Masing-masing pejabat pada posisi tersebut mesti bisa mengawasi anggota yang berada di bawah satuannya langsung. "Secara berjenjang dari tertinggi sampai terdepan. Katakanlah petugas di lapangan, mereka punya pimpinan yang bertindak sebagai
first line supervisor (pengawas garis pertama)," kata Boy.
Walau demikian, data tersebut tetap menunjukkan catatan penting. Persentase penyelesaian kasus tahun ini menurun jika dibandingkan tahun lalu. Pada semester I 2015, persentase penyelesaian mencapai 44 persen atau 1.528 kasus. Sementara tahun ini, persentase hanya mencapai 39 persen atau 1.059.
"Ya itu tidak apa-apa. Itu biasanya perkara yang belum diselesaikan secara keseluruhan," kata Boy.
Menurutnya, kasus-kasus yang belum selesai tahun ini akan dijadikan prioritas jika belum juga selesai di tahun mendatang. Lagi pula, tahun ini baru berjalan separuhnya.
"Tingkat kesulitannya juga bermacam-macam- Tidak mungkin sama. Mungkin orangnya disersi, tidak ada, bagaimana mau disidang," ujarnya.
Sementara itu, institusi Polri disebut menjadi lembaga yang paling banyak mendapat laporan masyarakat, selain pemerintah daerah. Selama lima tahun terakhir, laporan pengaduan pelayanan publik di Ombudsman RI menempatkan kepolisian berada di posisi kedua teratas yang banyak dikeluhkan publik.
Sepanjang tahun 2015, dari total 6.859 pengaduan, Ombudsman menerima 807 laporan yang ditujukan untuk kepolisian. “Terutama di kota-kota besar,” kata Anggota Ombudsman Adrianus Meliala saat dihubungi CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Mayoritas laporan itu memang ditujukan untuk kepolisian resort yang berada di kota/kabupaten. Laporan terbanyak juga diadukan untuk bagian satuan reserse kriminal.
Adrianus, Komisioner Ombudsman yang mengawasi laporan pada institusi kepolisian, menilai banyaknya intensitas laporan untuk kepolisian lantaran Polri berhubungan langsung dengan memberikan pelayanan vital kepada masyarakat, seperti penegakan hukum, pengayoman dan keamanan.
Dari pengaduan yang diterima, maladministrasi oleh perwira Polri berkisar pada penundaan berlalut, penyimpangan prosedur, tidak kompeten, dan penyalahgunaan wewenang.
Maladministrasi terbanyak oleh kepolisian dikategorikan dalam penundaan berlarut berjumlah hampir setengah dari total pengaduan pada tiga tahun terakhir yaitu 44,2 persen. Ombudsman menilai kepolisian kerap tidak menindaklanjuti atau lambat dalam mengerjakan laporan masyarakat.
Maladministrasi tertinggi lainnya yang diterima Ombudsman, sekitar 13,6 persen adalah penyimpangan prosedur. Pelanggaran yang masuk dalam kategori ini seperti penangkapan yang tak sesuai standar, tak ada surat penangkapan penetapan tersangka, tidak melalui gelar perkara, dan persoalan prosedur lain yang terdapat dalam KUHAP.
Penyalahgunaan wewenang juga kerap dilakukan oknum polisi. Terbukti dengan laporan masyarakat sebanyak 12,2 persen dari total laporan untuk kepolisian. Pada pelanggaran ini, oknum polisi tidak menjalankan wewenang yang dimiliki sebagaimana mestinya.
Laporan masyarakat menunjukkan, oknum polisi memanfaatkan wewenang untuk kasus percaloan maupun pemerasan. Ombudsman juga menemukan oknum yang merekayas kasus dan perkara serta penerapan pasal yang tidak tepat.
Aduan lain yaitu perwira polisi yang tidak kompeten berjumlah 10,4 persen. "Lebih kepada petugas polrinya dalam penanganan laporan," kata Asisten Ombudsman Tumpal Simanjuntak.
Temuan maladministrasi lainnya yaitu keberpihakan, permintaan imbalan, tidak memberikan pelayanan, dan tidak patut. Sementara persoalan diskrimanasi dan konflik kepentingan jumlahnya tak terlalu signifikan.
Selain menerima laporan masyarakat, Ombudsman juga melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan penyimpangan di kepolisian. Seperti, kasus penilangan. Tindakan ini dilakukan karena permasalahan tersebut ada namun masyarakat enggan melapor.
"Orang umumnya mengadu kalo sudah seleher dongkolnya," ujar Adrianus. Tumpal menilai kepolisian merupakan institusi yang transparan dan responsif. Kendati demikian, 22 persen laporan tahun 2015 dan 16 persen sejak 2014 tak kunjung ditindaklanjuti lembaga tersebut. Itu artinya, pihak terlapor atau instansi kepolisian terkait tak menanggapi laporan yang disampaikan melalui Ombudsman.
Sementara hanya 5 persen laporan tahun 2014 yang dapat diselesaikan Polri. Pada 2015, jumlah laporan yang diselesaikan menurun menjadi 4 persen atau setara 38 aduan dari total 807 laporan yang masuk.
Status laporan lainnya pun beragam di antaranya; laporan ditutup, menunggu data dari pelapor, menunggu tanggapan terlapor, dan proses di asisten atau sedang dalam tahap investigasi. Padahal Ombudsman dan Polri telah menjalin kerja sama penyelesaian laporan dan pengaduan masyarakat sejak 2011 yang diperpanjang pada 2014.
Penyelesaian laporan dapat berujung dengan rekomendasi untuk meminta maaf, memberi ganti rugi, dan mediasi. Jika tak mengikuti anjuran Ombudsman, oknum polisi akan dijatuhi hukuman mati perdata
"Mati perdata, karena tidak mengikuti anjuran Ombudsman. Ketika naik pangkat, maka tidak akan terpelih," kata Adrianus.
Adrianus menyebut sudah ada beberapa orang yang dikunci atau tak dapat mencalonkan diri saat Pemilihan Kepala Daerah maupun Pemilihan Legislatif.